Elon Musk mengakuisisi Twitter untuk menjadikannya media sosial yang mengedepankan freedom of speech atau kebebasan berbicara.
"Kebebasan berbicara adalah landasan demokrasi, dan Twitter adalah alun-alun kota digital di mana hal-hal penting bagi masa depan umat manusia diperdebatkan," kata Elon Musk, seperti dilansir Reuters, Selasa (26/4/2022).
Meski terdengar ideal, sejumlah pihak menilai kebebasan itu juga berisiko menambah kasus hate speech atau ujaran kebencian, serta kasus pelecehan daring di media sosial.
Pelecehan Perempuan di Media Sosial
Menurut survei Plan International, pada tahun 2020 kasus pelecehan daring terhadap perempuan muda di platform Twitter tergolong rendah dibanding media sosial lainnya.
Survei dilakukan terhadap 14.000 perempuan berumur 15-25 tahun yang tersebar di 22 negara. Beberapa contoh negara yang disurvei adalah Brasil, Benin, Amerika Serikat, dan India.
Hasilnya, Plan International menemukan hanya 9% responden yang pernah mengalami pelecehan di Twitter. Pelecehan di TikTok lebih rendah lagi, yakni hanya 6%.
Adapun media sosial yang dikelola di bawah perusahaan Meta, yakni Facebook, Instagram, dan WhatsApp, menjadi platform dengan kasus pelecehan tertinggi.
Sebanyak 39% responden mengaku pernah dilecehkan di Facebook, 23% pernah dilecehkan di Instagram, dan 14% pernah dilecehkan di WhatsApp.
(Baca: Elon Musk Kini Jadi Pemilik Media Sosial Terkaya di Dunia)