Pada perdagangan Selasa (4/9/2018) nilai tukar rupiah sempat ditransaksikan melemah hingga ke level 14.845/dolar Amerika Serikat (AS) meskipun kemudian mampu berbalik arah menguat ke Rp 14.780/dolar AS. Berdasarkan data Bloomberg, angka tersebut merupakan level terburuk rupiah sejak krisis finansial 1998. Nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini telah melemah 8,6% dibanding posisi akhir 2017 (Ytd).
Kekhawatiran terhadap perang dagang antara AS dengan Tiongkok yang diperkirakan akan meluas dengan negara lainnya memicu ketidakpastian di pasar finansial global. Ditambah dengan membaiknya data pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam sebesar 4,2% serta laju inflasi yang telah mencapai 2,9% menguatkan spekulasi bahwa The Fed (bank sentral AS) akan segera menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuannya di bulan ini menjadi penyebabnya rupiah melemah.
Terjadinya ketidakpastian global membuat harga saham dan obligasi di bursa pasar negara berkembang seperti Indonesia bergerak fluktuatif. Ini yang membuat para pengelola dana untuk sementara memilih berinvestasi pada aset-aset dalam mata uang dolar AS dan melepaskan investasinya dalam mata uang yang dianggap berisiko di negara pasar berkembang membuat rupiah terdepresiasi cukup dalam. Selain itu, krisis yang terjadi di Argentina juga turut memicu rupiah melemah kian mendekati level psikologis Rp 15.000/dolar AS.