Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diolah lembaga riset dan advokasi lahan gambut Indonesia, Pantau Gambut, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sawit ilegal di area kesatuan hidrologis gambut (KHG) sudah terjadi sejak 2015 lalu.
Pada 2015, luas area terbakar sudah mencapai 10.508 hektare. Jumlah ini jadi yang terbesar setidaknya dalam catatan 5 tahun terakhir.
Setahun setelah kejadian tersebut, kebakaran lahan sawit ilegal kembali terjadi dengan luas 767,12 hektare. Sampai 2017, kebakarannya makin menyusut, yakni menjadi 53,54 hektare.
Namun pada 2018, luas area terbakar meningkat lagi, menjadi 1.241 hektare. Data terakhir pada 2019, lahan yang terbakar daerah tak berizin itu melonjak jadi 3.578 hektare.
Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut mengatakan, karhutla yang terus terjadi ini terjadi seiring dengan minimnya penegakan terhadap kroporasi yang beroperasi secara ilegal di area KHG.
Wahyu menyebut, dari 32 entitas perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di area KHG, hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya. Sedangkan 27 perusahaan lainnya atau 84% juga beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.
"Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kondisi ini meningkatkan risiko karhutla, khususnya pada ekosistem gambut," kata Wahyu melalui keterangan tertulisnya kepada Databoks, Rabu (25/10/2023).
Kondisi semakin diperparah dengan wacana pemerintah yang akan memutihkan perkebunan sawit. Pantau Gambut mencatat, terdapat 3,3 juta hektare luas perkebunan sawit yang bakal diputihkan. Dari jumlah itu, sebanyak 407,26 ribu hektare atau 14% merupakan area KHG.
Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, menjamurnya perkebunan sawit ilegal di berbagai wilayah–termasuk di kawasan hutan yang menjadi area lindung dan konservasi–karena buruknya tata kelola oleh pemerintah, tidak adanya transparansi, dan lemahnya penegakan hukum.
"Bukannya memperbaiki hal tersebut, pemerintah justru melakukan pemutihan sawit ilegal di kawasan hutan. Kebijakan ini jelas tidak berpihak kepada lingkungan serta masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang terdampak, melainkan ditengarai menguntungkan oligarki sawit di lingkaran kekuasaan,” kata dia.
(Baca juga: Kalimantan Tengah Jadi Sarang Lahan Sawit Ilegal Area KHG Terbesar 2023)