Untuk mengurangi pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor, masyarakat Indonesia perlu melakukan transisi ke kendaraan listrik.
Namun, transisi itu perlu ditopang kebijakan pemerintah, salah satunya melalui kebijakan fiskal di pasar kendaraan domestik.
Hal ini tersirat dalam naskah akademis Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik (2022) dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB).
Menurut dokumen tersebut, untuk mempercepat transisi kendaraan listrik, pertama pemerintah perlu menetapkan Standar Karbon Kendaraan, yakni standar emisi maksimum yang boleh dikeluarkan kendaraan dalam ukuran gram karbon dioksida per kilometer (grCO2/km).
Setelah itu, pemerintah diusulkan untuk menetapkan kebijakan fiskal berupa pemberian insentif (rebate) bagi kendaraan yang emisinya sesuai standar, sekaligus pengenaan disinsentif (feebate)/beban biaya tambahan/cukai bagi kendaraan yang emisinya melanggar standar.
Hasil pungutan feebate atau cukai itu kemudian dapat digunakan untuk membayar insentif bagi kendaraan yang memenuhi standar emisi.
"Dengan demikian, skema ini tidak memberatkan keuangan pemerintah. Bahkan jika banyak produk kendaraan yang tidak memenuhi standar karbon, maka ada potensi peningkatan pendapatan pemerintah dari cukai," kata tim KPBB dalam naskah akademisnya.
Simulasi Efek Kebijakan Fiskal terhadap Harga Kendaraan
KPBB juga membuat simulasi perhitungan harga kendaraan dengan skema rebate dan feebate berbasis standar emisi karbon.
Misalnya, kendaraan listrik baterai atau battery electric vehicle (BEV) kapasitas 125 kilowatt (kW) saat ini dijual dengan harga pasaran Rp715 juta per unit, dengan harga pokok penjualan/ongkos produksi sebelum rebate/feebate Rp429,43 juta per unit.
Karena BEV bersih dari emisi karbon, BEV bisa mendapat insentif fiskal (rebate) sekitar Rp54,8 juta per unit.
Setelah ditambah pajak/pungutan negara lain dan porsi laba perusahaan, BEV kemudian dapat dijual dengan harga baru Rp486,28 juta.
Di sisi lain, kendaraan hibrida atau hybrid electric vehicle (HEV) bisa diberi insentif (rebate) lebih kecil karena masih mengeluarkan emisi karbon.
Sedangkan kendaraan konvensional berbasis bensin dan diesel dapat dikenai disinsentif (feebate)/cukai karena emisi karbonnya tinggi, sehingga harga jual barunya menjadi lebih mahal dibanding BEV seperti terlihat pada grafik.
"Penerapan insentif kendaraan rendah karbon berdasarkan PP No. 74 /2021 belum efektif mengendalikan emisi karbon. Karena insentif yang diberikan tidak mampu mempengaruhi total harga mobil yang harus dibayar konsumen, di mana teknologi ICE dan kendaraan HEV masih jauh lebih murah dibandingkan kendaraan listrik BEV," kata tim KPBB.
"Sedangkan jika diterapkan skema feebate/rebate, secara efektif akan berdampak pada keseimbangan baru di mana harga BEV lebih murah dibandingkan kendaraan berteknologi ICE, sehingga relatif mampu bersaing dan menembus pasar," lanjutnya.
(Baca: Penjualan Mobil Listrik di Indonesia Turun 14% pada April 2024)