Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2024 Indonesia mengekspor batu bara seberat 405,76 juta ton, naik 6,9% dibanding 2023 (year-on-year/yoy).
Kendati volumenya bertambah, nilai ekspor batu bara Indonesia pada 2024 turun 11,9% (yoy) menjadi US$30,49 miliar.
Penurunan nilai ekspor ini dipengaruhi koreksi harga komoditas. Menurut data Bank Dunia, rata-rata harga batu bara Australia yang menjadi acuan global turun 21,2% (yoy) pada 2024.
Bank Dunia juga memperkirakan tren penurunan harga batu bara akan berlanjut dalam dua tahun depan karena permintaannya berkurang.
"Harga batu bara Australia diperkirakan turun sekitar 12% (yoy) pada 2025 dan 2026. Konsumsi batu bara global diperkirakan akan menyusut pada 2025 dan 2026," kata Bank Dunia dalam Commodity Markets Outlook edisi Oktober 2024.
(Baca: Batu Bara dan Minyak, Sumber Energi Utama Indonesia)
Adapun mulai 1 Maret 2025 pemerintah Indonesia mewajibkan eksportir sektor pertambangan (kecuali minyak dan gas bumi), perkebunan, kehutanan, dan perikanan untuk menempatkan 100% devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) dalam rekening khusus di bank nasional selama 12 bulan.
"[Penempatan 100% DHE SDA di bank nasional selama 12 bulan] terutama untuk batu bara, CPO, dan nikel, tiga komoditas yang paling besar peranannya di dalam menghasilkan ekspor dan devisa kita," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (17/2/2025).
Sri Mulyani menyatakan kebijakan baru ini bertujuan agar hasil ekspor sumber daya alam Indonesia bisa betul-betul masuk ke dalam negeri dan memperkuat perekonomian nasional.
"Sistem perbankan dan sistem keuangan kita juga akan terus diperkuat sehingga mereka juga mampu untuk terus memberikan services kepada para eksportir tersebut," ujarnya.
(Baca: Minyak Bumi Indonesia Bisa Habis Kurang dari 2 Dekade Lagi)