Dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat terhadap mata uang utama dunia. Terapresiasinya dolar AS tersebut berdampak pula terhadap melemahnya mata uang Asia, termasuk rupiah.
Langkah Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya guna meredam inflasi memicu penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia, termasuk mata uang Asia.
Kyat merupakan mata uang di kawasan Asia yang melemah paling tajam sepanjang tahun ini. Mata uang Myanmar tersebut telah terdepresiasi 35,48% ke posisi 2.097,55 per dolar AS pada 21 Desember 2021.
Mata uang regional yang melemah terdalam berikutnya adalah yen (Jepang), yakni sedalam 13,12% ke level 132,46 per dolar AS, kemudian yuan (Tiongkok) sedalam 8,96% ke 6,98 per dolar AS, rupiah (Indonesia) juga melemah 8,5% ke level 15.588 per dolar AS.
Setelahnya ada peso (Filipina) melemah 7,47% ke 55,11 per dolar AS, won (Korea Selatan) terdepresiasi 7,45% menjadi 1.285,7 per dolar AS, Ringgit (Malaysia) melemah 6,12% menjadi 4,44 per dolar AS.
Demikian pula bath (Thailand) melemah 4,73% menjadi 34,73 per dolar AS, dong (Vietnam) terdepresiasi 3,78% menjadi 23.723 per dolar AS, serta dolar (Singapura) melemah 0,18% ke 1,35 per dolar AS.
Harga komoditas energi dan pangan yang naik akibat invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina telah memicu inflasi tinggi di berbagai negara, termasuk Amerika. Inflasi AS bahkan sempat mencapai level tertingginya dalam 4 dekade terakhir sebesar 9,1% (year on year/yoy) pada Juni 2022.
Tekanan inflasi tersebut membuat The Fed mengambil kebijakan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga acuannya. Sepanjang tahun ini The Fed telah menaikkan suku bunganya sebanyak 7 kali sebesar 425 basis points (bps) ke kisaran 4,25-4,5%.
(Baca: Naik 7 Kali, Suku Bunga The Fed Capai Level Tertinggi dalam 15 Tahun)