Imbal hasil (Yield) obligasi pemerintah di negara-negara Asia, termasuk Indonesia mengalami tren kenaikan seiring naiknya yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Membaiknya perekonomian Negeri Paman Sam yang mendorong terapresiasinya dolar membuat para investor meminta imbal hasil yang lebih tinggi agar keuntungan yang diperolehnya tidak tergerus oleh meningkatnya inflasi. Menguatnya dolar dan imbal hasil obligasi AS memicu pelemahan mata uang Asia serta mendorong kenaikan yield surat utang di kawasan Asia.
Sepanjang semester pertama 2018, yield surat utang Pemerintah Indonesia naik 157,8 bps menjadi 7,9%. Angka ini merupakan yang tertinggi dibanding kenaikan obligasi negara-negara di kawasan Asia. Kenaikan tertinggi kedua dicatat obligasi Pemerintah Filipina, yakni sebesar 71,1 bps menjdi 6,41% dan ketiga Singapura sebesar 54,5 bps menjadi 2,26%. Imbal hasil obligasi Pemerintah AS (Treasury Bill) sendiri naik 43,1 bps menjadi 2,84%.
Terjadinya defisit neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan membuat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi 5,72% terhadap dolar AS sepanjang semester pertama tahun ini. Imbasnya, imbal hasil obligasi Pemerintah mengalami kenaikan tertinggi seiring meningkatnya persepsi risiko investasi. Sebagai informasi, sepanjang paruh pertama tahun ini risiko gagal bayar surat utang Pemerintah Indonesia (Credit Default Swap/CDS) telah naik 65,75 poin (42,71%) ke level 219,68 dari posisi akhir tahun lalu di 153,953.