Tren pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih berlanjut.
Berdasarkan data Asian Bonds Online, posisi rupiah bahkan berada di tiga terbawah pada data terakhir, Rabu (25/3/2025). Nilai tukarnya sebesar 16.612 per US$.
>
Asian Bonds Online juga mencatat, pelemahan rupiah sejak awal tahun ini sudah minus 2,89% (year-to-date/ytd). Persentase ini menjadi yang terdalam dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya.
Mata uang terapuh lainnya, yakni dong Vietnam (VND) sebesar 25.630 per US$ dan kip laos (LAK) sebesar 21.654,23 per US$.
Sementara mata uang terkuat di zona Asia adalah dolar Brunei Darussalam (BND) dan dolar Singapura (SGD) yang masing-masing sebesar 1,34 per US$.
(Baca juga: IHSG Turun, Rupiah Ikut Melemah)
Dampak pelemahan rupiah
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengungkapkan implikasi pelemahan rupiah ini sangat luas. Bhima mengatakan, pelemahan rupiah ini berdampak kepada beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hingga masyarakat secara langsung.
Bhima mencontohkan, belanja subsidi energi yang paling terdampak. Mulai belanja subsidi listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan LPG tiga kilogram itu pasti akan meningkat.
“Belanja subsidi energi pada 100 hari Prabowo-Gibran itu angkanya jauh lebih tinggi daripada pemerintahan sebelumnya,” kata kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa (25/3).
Artinya, beban tersebut akan menekan APBN di tengah situasi penurunan penerimaan perpajakan. Pada akhirnya, defisit anggaran akan terus melebar.
Bhima mengatakan, pelemahan rupiah juga akan berdampak kepada masyarakat. Sebab, pelemahan rupiah akan membuat biaya impor bahan baku dan barang jadi akan naik sehingga produsen dan pedagang akan meneruskan kepada konsumen berupa harga yang lebih mahal.
“Maka inilah yang akan menciptakan imported inflation dan akan membuat masyarakat daya belinya semakin menurun,” ujar Bhima.
Sektor ritel pun akan terdampak dari pelemahan rupiah. Hal ini karena konsumen akan terbebani harga barang impor kepada konsumen.
“Para retailer juga berpikir konsumen tidak siap dengan harga yang naik, maka omzetnya bisa anjlok," kata Bhima.
Selain itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, pelemahan rupiah berpotensi akan mengganggu stabilitas ekonomi dalam jangka pendek.
“Stabilitas ekonomi kalau rupiahnya gonjang-ganjing ini juga akan berimplikasi kepada makro ekonomi kita,” kata Eko dalam diskusi daring Indef.
Dalam hematnya, para pelaku di pasar uang juga akan melihat bagaimana kondisi saat momen Lebaran Idufitri 2025. Sebab pada momen tersebut, uang beredar dan pemudik diproyeksikan bergerak dalam jumlah besar.
(Baca Katadata: Pelemahan Rupiah dan Sederet Risikonya Bagi Ekonomi Indonesia)