Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), selama periode Januari-Oktober 2022 volume ekspor bijih tembaga Indonesia sudah mencapai 2,5 juta ton.
Angka tersebut naik sekitar 13% dibanding volume ekspor sepanjang 2021, sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam sedekade terakhir.
Selama Januari-Oktober 2022 nilai ekspor komoditas tersebut juga mencapai US$7,7 miliar, lebih tinggi 42% dibanding perolehan sepanjang 2021.
Kendati kinerjanya menguat, Presiden Jokowi berencana menyetop ekspor tembaga mulai pertengahan 2023.
"Masalah nikel (Indonesia) kalah di WTO. Justru kita tambah setop bauksit, dan mungkin pertengahan tahun kita tambah lagi setop tembaga," kata Jokowi dalam acara HUT ke-50 PDIP di Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Sebelumnya, pemerintah Indonesia sempat melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020. Namun, kebijakan tersebut digugat oleh Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO).
Setelah melalui proses persidangan panjang, WTO mengabulkan gugatan Uni Eropa pada Oktober 2022. Indonesia kalah dalam sidang karena dinilai melanggar kesepakatan perdagangan bebas internasional, salah satunya Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) 1994.
Pasal GATT tersebut menyatakan bahwa negara anggota WTO hanya boleh membatasi bea, pajak, atau pungutan lain, namun dilarang melakukan pembatasan kuota ataupun perizinan ekspor dan impor.
Meski kalah sidang, pemerintah Indonesia berencana melakukan banding soal masalah nikel ke WTO. Presiden Jokowi bahkan mengumumkan akan menutup keran ekspor komoditas mineral lainnya.
"Mulai Juni 2023 pemerintah akan melarang ekspor bijih bauksit dan mendorong pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/12/2022).
(Baca: Stok Bauksit dan Nikel RI Cukup untuk Produksi 100 Tahun Lebih)