Perusahaan jaringan kedai kopi global, Starbucks Corporation, mencatatkan kerugian kapitalisasi pasar terbesar, yakni ambrol hampir US$12 miliar atau Rp186,50 triliun (asumsi kurs Rp15.542 per US$) pada Senin (4/12/2023) lalu.
Melansir Katadata, saham Starbucks juga anjlok 1,6% di hari yang sama atau menurun selama 11 sesi berturut-turut. Momen ini merupakan penurunan terpanjang sejak debut publik Starbucks di Bursa Amerika Serikat (AS) pada 1992.
Secara keseluruhan, kemerosotan tersebut telah menghapus 9,4% dari nilai pasar Starbucks atau turun sebanyak hampir US$12 miliar.
Merosotnya saham dan nilai pasar emiten berkode SBUX itu diduga imbas aksi boikot warga dunia atas merek-merek yang dianggap mendukung agresi Israel terhadap Palestina. Selain itu, ada kekhawatiran tren penjualan Starbucks yang telah menurun selama beberapa tahun terakhir.
(Baca juga: Laba Starbucks Sentuh US$1,21 M per Oktober 2023, Bakal Turun Imbas Boikot?)
Data yang dihimpun Companies MarketCap menunjukkan, tren nilai pasar SBUX memang sempat ambrol selama beberapa kali dalam sedekade terakhir.
Penurunan nilai kapitalisasi pasar terbesar terjadi pada 2022. Rerata tahunan nilai pasar SBUX saat itu sebesar US$113,86 miliar. Angka ini ambles 17,03% dari periode yang sama pada 2021 (year-on-year/yoy) sebesar US$137,22 miliar.
Penurunan terbesar kedua terjadi pada 2016 dengan nilai kapitalisasi pasar US$80,09 miliar atau minus 9,29% (yoy) dari 2015 yang sebesar US$89,18 miliar.
Penurunan terbesar ketiga dalam sedekade, yakni pada 2023. Pada data terakhir Jumat (8/12/2023) pukul 19.00 WIB, rerata kapitalisasi pasarnya sebesar US$109,62 miliar, turun 3,72% dari 2022.
(Baca juga: Banyak Seruan Boikot Starbucks di TikTok, Ini Negara Asalnya)