Starbucks Corporation membukukan laba bersih sebesar US$1,21 miliar atau Rp18,97 triliun (asumsi kurs Rp15.565 per US$) pada hitungan kuartal per Oktober 2023.
Laba yang diatribusikan kepada Starbucks itu meroket 38,82% dari periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) sebesar US$878,30 juta atau Rp13,67 triliun pada Oktober 2022.
Tak hanya laba, pendapatan bersih minuman kopi global asal Amerika Serikat itu juga meningkat. Tercatat, pendapatannya sebesar US$9,37 miliar atau Rp145,90 triliun pada Oktober 2023. Angkanya naik 11,4% (yoy) dari sebelumnya US$8,41 miliar atau Rp130,96 triliun.
Starbucks menyebut, penjualan gerai secara global meningkat 8% pada Oktober 2023. Ini didorong oleh peningkatan rata-rata tiket atau cek yang dibayarkan pelanggan lebih tinggi 4% dan peningkatan transaksi sebanding sebesar 3%.
Gerai Starbucks internasional mencapai 20.228 gerai pada Oktober 2023. Jumlahnya naik 10% (yoy) dari sebelumnya yang sebanyak 18.416 gerai pada Oktober 2022. Sementara gerai di segmen Amerika Utara mencapai 17.810 pada Oktober 2023.
Maka, akumulasi gerai global mencapai 38.038 gerai, termasuk dengan 816 gerai baru yang dibuka per kuartal IV 2023. "Sebanyak 52% dioperasikan oleh perusahaan dan 48% berlisensi," demikian bunyi laporan keuangan Starbucks.
Starbucks dan isu pemboikotan
Starbucks masuk dalam pusaran pemboikotan warga dunia setelah masifnya serangan Israel terhadap Palestina sejak 7 Oktober 2023. Perusahaan kopi ini dianggap berafiliasi atau mendukung agresi Israel.
Melansir Katadata dari Reuters, Starbucks tak sendiri. Merek lain seperti McDonald’s hingga KFC juga masuk daftar pemboikotan. Dampaknya, tak sedikit gerai waralaba makanan cepat saji ini yang kosong di sejumlah negara Timur Tengah seperti Mesir, Maroko, Yordania, dan Kuwait.
Di Kuwait, misalnya, banyak gerai-gerai Starbucks, McDonald’s, dan KFC yang hampir kosong. Di Rabat, Maroko, seorang pekerja Starbucks mengatakan jumlah pelanggan turun signifikan dalam sepekan terakhir. Baik perusahaan maupun pekerja tersebut tidak memerinci angka pastinya.
Namun, Starbucks akhirnya buka suara mengenai seruan boikot dan pro-Israel.
Melalui situs resmi, Starbucks membantah rumor perusahaan mendukung keuangan pemerintah dan/atau Angkatan Darat Israel. Starbucks merupakan perusahaan publik, sehingga wajib menyampaikan setiap pemberian perusahaan per tahun melalui proxy statement.
“Tidak. Ini sama sekali tidak benar,” kata Starbucks dikutip Katadata, Jumat (17/11/2023).
Terkait penutupan gerai di Israel, Starbucks menegaskan perusahaan tidak mengambil keputusan bisnis berdasarkan isu politik. Starbucks membubarkan kemitraan di Israel pada 2003 karena tantangan operasional.
(Baca juga: Saham Starbucks Melesu Imbas Boikot Produk yang Dianggap Pro-Israel)
Potensi penurunan penjualan perusahaan yang diboikot
Melansir Bisnis.com, Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) melihat ada tiga faktor untuk mengukur pelemahan atau penguatan penjualan perusahaan yang diboikot.
Pertama, pengetahuan atau informasi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada masyarakat. MUI memang telah mengeluarkan Fatwa No.83/2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Fatwa itu mengharamkan dukungan terhadap serangan Israel ke Palestina.
Namun, Faisal mengatakan bahwa tak semua orang mendengar dan mengetahui fatwa tersebut, baik melalui media arus utama maupun media sosial.
Kedua, dengan asumsi semua masyarakat sudah mendapatkan informasi mengenai fatwa tersebut, masih ada masyarakat yang belum tahu produk-produk apa saja yang dianggap memberi bantuan kepada Israel.
Ketiga, tingkat ketaatan setiap orang terhadap fatwa tersebut. Ada beberapa orang yang mengetahui informasi fatwa haram itu, tetapi tidak serius menjalankannya. Ada juga yang menganggap serius tetapi tidak bisa berhenti untuk membeli produk tersebut karena sejumlah alasan.
Melihat ketiga faktor tersebut, Faisal menilai dampak terhadap penurunan penjualan produk-produk tersebut akan terjadi, tetapi belum signifikan. Dalam hematnya, dampak bisa terjadi signifikan bila efektivitas aksi boikot menurut tiga faktor tersebut betul-betul meluas.
"Ketika aksi tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, maka hal tersebut dapat menurunkan penjualan dalam waktu yang lama juga dan memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK)," katanya kepada Bisnis.com, Rabu (15/11/2023).
(Baca juga: 7 Kopi Modern dengan Gerai Terbanyak di ASEAN, Ada Kopi Kenangan dan Janji Jiwa)