Hasil survei TIFA Foundation dan Populix menunjukkan, 18% responden jurnalis mengaku pernah mengalami kekerasan pada masa transisi pergantian pemerintahan.
Berdasarkan pelakunya, buzzer atau pendengung tim sukses pasangan calon presiden menjadi aktor yang paling banyak melakukan kekerasan kepada jurnalis, dialami 38% responden.
Responden yang mengalami ini adalah jurnalis di Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, dan Sulawesi.
"Buzzer yang dimaksud di sini adalah individu atau kelompok yang bertugas menyebarkan pesan tertentu di media sosial, baik secara organik maupun berbayar. Mereka bisa bekerja untuk mempromosikan kandidat, menyerang lawan, atau membentuk opini publik," tulis TIFA Foundation dalam laporannya.
Pelaku kekerasan terhadap jurnalis berikutnya berasal dari individu atau kelompok dengan motif pribadi (32%), polisi (13%), partai politik (11%), pihak pemerintah (10%), lembaga negara (7%), dan perusahaan media (6%).
Sementara, ada 22% responden yang tidak bersedia menyebutkan pelaku kekerasannya.
Survei ini juga menemukan, jenis kekerasan yang paling banyak dialami jurnalis pada masa transisi pemerintahan adalah pelarangan liputan, yakni sebanyak 44%.
"Hal ini tidak hanya membatasi hak jurnalis dalam mengakses informasi, tetapi juga menghambat hak publik untuk mendapatkan berita yang akurat dan transparan," tulis TIFA Foundation.
Ada pula yang mengalami kekerasan berupa pelarangan pemberitaan (26%), teror dan intimidasi (24%), penghapusan hasil liputan (24%), hingga ancaman (23%).
Survei TIFA Foundation dan Populix ini melibatkan 760 responden jurnalis aktif, rinciannya responden laki-laki sebanyak 71% dan responden perempuan 3329. Berdasarkan peran pekerjaan, mayoritas merupakan jurnalis lapangan (68%), editor/redaktur (17%), pemimpin redaksi (10%), dan redaktur pelaksana (6%).
Responden tersebar di Pulau Jawa (48%), Sumatera (19%), Kalimantan (9%), Bali-Nusa Tenggara (6%), Papua (5%), dan Maluku-Maluku Utara (5%).
Penelitian ini turut menggunakan dua metode, yakni kuantitatif dan kualitatif. Selain menyurvei, tim riset juga mengambil data sekunder berupa data kekerasan terhadap jurnalis yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dalam lima tahun terakhir.
Sementara, data kuantitatifnya berasal dari wawancara mendalam dengan sejumlah stakeholder di bidang media.
(Baca: Ada 72 Kasus Kekerasan Jurnalis di Indonesia pada 2024, Ini Jenisnya)