Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia sampai 2024

Lingkungan

Premium

Adi Ahdiat 31/10/2025 13:56 WIB

URL telah disalin

Memuat...

Menurut data Joint Research Centre, emisi gas rumah kaca Indonesia terus bertambah hingga mencapai rekor tertinggi baru pada 2024.

Volume Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia (1970-2024)*

A Font Kecil
A Font Sedang
A Font Besar

Anda mengakses konten Single Data Premium.
Untuk meneruskan, silakan berlangganan, atau beli secara satuan.

Professional

Nikmati akses premium dengan harga yang lebih terjangkau.

Mulai dari

~~Rp300.000~~ 150.000/bulan

Akses lebih banyak konten premium dan fitur eksklusif khusus pelanggan.

Mulai dari

50.000/bulan

Hanya Rp833 per artikel

Lebih detail »

Beli Satuan

Langsung baca artikel “Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia sampai 2024”.

Rp10.000

Kami menerima pembayaran berikut:

Beberapa metode pembayaran masih dalam proses aktivasi.

Volume Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia (1970-2024)*

Unduh

Sumber

A Font Kecil
A Font Sedang
A Font Besar

Emisi gas rumah kaca Indonesia naik signifikan dalam beberapa dekade terakhir.

Hal ini terlihat dari data Joint Research Centre (JRC), organisasi pendukung kebijakan berbasis riset dari European Commission.

(Baca: Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia Terbesar ke-6 Global pada 2024)

Menurut data JRC, pada 1970, volume emisi gas rumah kaca Indonesia hanya sekitar 0,14 miliar ton ekuivalen karbon dioksida (Gt CO2eq).

Kemudian emisinya terus bertambah, hingga menjadi 1,32 Gt CO2eq pada 2024. Ini merupakan rekor tertinggi baru, seperti terlihat pada grafik.

Secara kumulatif, selama periode 1970—2024 volume emisi gas rumah kaca Indonesia sudah melonjak 880%.

(Baca: Pemerintah Indonesia Janji Kurangi Emisi Karbon)

Emisi gas rumah kaca yang tercatat di sini adalah gabungan karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan gas terfluorinasi (F gases).

Namun, data ini hanya mencakup emisi gas rumah kaca dari 8 sektor, yaitu:

Pembangkit listrik;
Pembakaran energi untuk industri manufaktur;
Proses industri (seperti proses produksi semen, besi, baja, aluminium, bahan kimia, dll);
Pembakaran energi untuk bangunan non-industri;
Eksploitasi bahan bakar fosil (pertambangan, produksi, pengolahan);
Transportasi darat, laut, dan udara;
Pertanian dan peternakan;
Pembuangan dan pengolahan sampah/limbah.

Sedangkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan atau land use, land-use change, and forestry (LULUCF) belum termasuk.

(Baca: Suhu Indonesia 2025 Lebih Panas dari Tahun-Tahun Lalu)

Editor : Adi Ahdiat