Menurut laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi depresi Indonesia sebesar 1,4% pada 2023.
Ditinjau berdasarkan kelompok usianya, prevalensi depresi paling banyak dirasakan oleh usia 15-24 tahun atau generasi Z, yakni sebesar 2%.
Meskipun kelompok anak muda punya memiliki prevalensi depresi tertinggi, hanya 10,4% yang mencari pengobatan.
Kemenkes menyebut, gen Z yang tidak mendapatkan penanganan depresi dengan baik akan menimbulkan permasalahan sosial yang lebih tinggi, seperti penyakit semakin parah, bunuh diri, penggunaan zat-zat terlarang, dan lainnya.
“Untuk itu perlu intervensi agar gen Z dengan gangguan depresi dapat diberikan tatalaksana yang tepat dan cepat,” tulis Kemenkes dalam laporannya.
Prevalensi depresi tertinggi berikutnya dialami oleh kelompok lansia atau berusia 75 tahun ke atas, yakni sebesar 1,9%.
Lalu diikuti kelompok 65-74 tahun 1,6%; kelompok 25-34 tahun 1,3%; 55-64 tahun 1,2%; dan 45-54 tahun 1,1%.
Sedangkan kelompok usia dengan prevalensi depresi terendah nasional adah 35-44 tahun, yaitu 1%.
Kemenkes melakukan penilaian gangguan depresi menggunakan mini international neuropsychiatric interview (MINI) yang berisi 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban tertutup, “ya” dan “tidak”.
Pertanyaan terdiri dari 3 gejala utama depresi dan 7 gejala tambahan. Jika responden memiliki 2 gejala utama dan 2 gejala tambahan, maka dapat dinyatakan memiliki gejala depresi.
Adapun hasil survei Kemenkes ini dilakukan terhadap sekitar 345 ribu rumah tangga yang tersebar di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota Indonesia pada 2023.
(Baca: Perempuan RI Lebih Banyak Alami Gangguan Kesehatan Mental Daripada Laki-laki)