Polusi udara di Jakarta cenderung memburuk saat musim kemarau, dan hal ini berisiko menimbulkan penyakit, bahkan kematian prematur bagi warganya.
Hal ini tercatat dalam laporan riset Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang bertajuk Sumber Utama Polusi Udara di DKI Jakarta.
(Baca: Kualitas Udara Jakarta Buruk, Kalah dari Ibu Kota ASEAN Lainnya)
"Rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 (partikel pencemar udara) di Jakarta lebih tinggi empat sampai lima kali dibandingkan standar Pedoman Kualitas Udara WHO," kata tim Vital Strategies dalam laporannya.
"Jumlah kematian yang dikaitkan dengan PM2.5 di Jakarta terbesar secara nasional, hampir 36 jiwa per 100.000 jiwa, dibandingkan dengan 20 jiwa per 100.000 jiwa di tingkat nasional," katanya lagi.
Vital Strategies dan ITB memantau tingkat polusi udara Jakarta saat musim hujan periode Oktober 2018–Maret 2019, serta musim kemarau periode Juli–September 2019.
Pemantauan dilakukan dengan mengumpulkan partikel pencemar udara PM2.5 di tiga lokasi, yakni kawasan Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Kebon Jeruk, dan Lubang Buaya.
"Lokasi-lokasi ini dipilih berdasarkan fitur penggunaan lahan, cuaca, dan pertimbangan lain untuk menangkap potensi variasi sumber polusi udara," kata tim Vital Strategies.
"PM2.5 dikumpulkan menggunakan filter dan dianalisis komposisi kimianya. Dua metode statistik dengan model reseptor digunakan untuk memperkirakan kontribusi sumber terhadap konsentrasi ambien PM2.5, dan hasilnya dibandingkan untuk meningkatkan akurasi temuan," lanjutnya.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa saat musim hujan rata-rata harian kadar konsentrasi PM2.5 di kawasan GBK mencapai 21 mikrogram per meter kubik. Namun, di musim kemarau kadarnya melonjak jadi 58 mikrogram per meter kubik.
Angka tersebut melampaui standar ideal dari World Health Organization (WHO), yang mematok ambang batas aman PM2.5 untuk kesehatan adalah 25 mikrogram per meter kubik (standar rata-rata harian).
Polusi PM2.5 di dua lokasi pemantauan lainnya, yakni Kebon Jeruk dan Lubang Buaya, juga tercatat meningkat saat musim kemarau dan semakin jauh dari ambang batas aman WHO, seperti terlihat pada grafik di atas.
(Baca: Transportasi, Sumber Utama Emisi Gas Rumah Kaca DKI Jakarta)
Menurut temuan Vital Strategies dan ITB, penyumbang polusi udara terbesar di DKI Jakarta adalah sektor transportasi.
Saat musim kemarau, asap knalpot kendaraan diestimasikan menyumbang sekitar 42% sampai 57% partikel pencemar udara PM2.5 di Jakarta.
Mereka pun merekomendasikan pengurangan emisi kendaraan, demi memperbaiki kualitas udara Jakarta.
"Mengurangi emisi kendaraan dapat diatasi melalui strategi pengendalian polusi kendaraan yang komprehensif dan sinergis yang menyasar pada perbaikan kualitas bahan bakar, standar pengendalian emisi, pengujian emisi wajib bagi semua kendaraan, teknologi alternatif (misalnya kendaraan hibrida atau listrik), dan pemeliharaan jalan," kata tim Vital Strategis.
"Selain itu, melanjutkan dan mempercepat perluasan sistem angkutan umum terintegrasi di Jakarta dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mengurangi emisi kendaraan," lanjutnya.
(Baca: Kualitas Udara di Kota Besar Indonesia Buruk, Jauh dari Standar WHO)