Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah membuat skenario penambahan kapasitas energi baru dan terbarukan (EBT) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2021-2030.
Rencananya, untuk mewujudkan 'skenario low carbon' atau emisi karbon rendah, PLN akan menambah bauran EBT menjadi 23% mulai tahun 2025.
Penambahan bauran EBT itu diperkirakan akan mengurangi emisi karbon hingga jutaan ton. Namun, biaya kompensasi dan subsidi listrik yang ditanggung pemerintah akan naik cukup signifikan.
PLN memproyeksikan, tanpa penambahan porsi EBT, biaya kompensasi dan subsidi listrik rata-rata Rp91,15 triliun per tahun (2021-2024).
Sedangkan dengan penambahan porsi EBT menjadi 23%, biaya kompensasi dan subsidi listrik diproyeksikan naik sekitar 104% menjadi rata-rata Rp185,77 triliun per tahun (2025-2030).
Tarif Listrik Diasumsikan Tidak Berubah
Menurut PLN, kompensasi dan subsidi listrik diproyeksikan meningkat karena Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik akan naik, sedangkan tarif listrik rata-rata diasumsikan tidak berubah.
Dalam RUPTL 2021-2030, PLN memproyeksikan bahwa BPP akan meningkat dari rata-rata Rp1.445/kWh (2021-2024) menjadi Rp1.637/kWh (2025-2030).
Di sisi lain, tarif listrik rata-rata diasumsikan tidak berubah, yakni sebesar Rp1.127/kWh (2021-2030).
PLN menilai besarnya kebutuhan kompensasi dan subsidi ini dapat meningkatkan ketergantungan PLN terhadap pinjaman. PLN pun lantas merekomendasikan adanya kenaikan tarif listrik dari pemerintah untuk mengurangi kompensasi dan subsidi tiap tahunnya.
'Kompensasi' merupakan biaya yang dibayarkan pemerintah kepada PLN untuk menutupi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik yang lebih tinggi dibandingkan harga penjualan listrik untuk semua golongan tarif.
Sedangkan 'subsidi' merupakan biaya yang dibayarkan pemerintah kepada PLN agar masyarakat golongan miskin atau rentan miskin bisa membeli listrik dengan harga lebih murah dari tarif yang ditetapkan.
(Baca Juga: Bauran Energi Indonesia Masih Didominasi Batu Bara pada 2030)