Dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2022, Presiden Jokowi memerintahkan Kementerian Perindustrian untuk mengembangkan industri kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle).
Namun, masih ada sejumlah tantangan untuk merealisasikan instruksi tersebut. Salah satu tantangannya, Indonesia masih bergantung pada impor untuk memasok 20% bahan baku baterai kendaraan listrik.
"Kami perlu menyusun peta jalan kemandirian agar tidak tergantung pada produk impor walau jumlahnya 20%," jelas Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan, dilansir Katadata.co.id, Senin (19/9/2022).
Menurut holding industri pertambangan nasional MIND ID, bahan baku baterai kendaraan listrik yang harus dibeli dari luar negeri itu berupa litium hidroksida, grafit, mangan, dan kobalt.
"Mangan dan kobalt itu besarnya masing-masing 12.000 ton per tahun dan ini semua masih impor," jelas Dany.
Adapun berdasarkan data Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), negara yang memiliki cadangan kobalt terbesar adalah Kongo, yaitu sebanyak 3,5 juta metrik ton pada 2021.
Sedangkan Indonesia tercatat memiliki cadangan kobalt 600 ribu metrik ton dan berada di peringkat ketiga terbesar dunia.
Kendati begitu, produksi kobalt Indonesia pada 2021 tercatat hanya 2.100 metrik ton, jauh di bawah kebutuhan yang disampaikan MIND ID, yakni 12.000 ton per tahun.
Hal ini mengindikasikan Indonesia memerlukan peningkatan investasi dan kinerja dalam produksi kobalt, demi mengamankan pasokan industri baterai kendaraan listrik dalam negeri.
(Baca: 10 Perusahaan Baterai Kendaraan Listrik Terbesar, Juaranya dari Tiongkok)