Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) bergerak fluktuatif dengan kecenderungan melemah pada semester I 2023.
Apalagi jika dibandingkan dengan tahun lalu, rata-rata harga CPO pada paruh pertama tahun ini sudah turun signifikan.
Berdasarkan data Investing.com, pada semester I 2022 rata-rata harga CPO di bursa komoditas Rotterdam sempat mencapai USD 1.659,6 per ton.
Kemudian pada semester I 2023 rata-rata harganya menjadi USD 950,8 per ton. Secara kumulatif, rata-rata harganya melemah 42,7% dibanding semester I tahun lalu.
(Baca: Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia Melonjak pada 2022, Tertinggi Sedekade)
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), harga minyak sawit melemah karena dipengaruhi permintaan yang rendah.
"Harga minyak sawit internasional turun pada Juni 2023, mencerminkan prospek hasil produksi yang tinggi dari negara-negara produsen utama, sementara permintaan impor global masih lemah," kata FAO dalam laporan Food Price Index awal Juli 2023.
Melemahnya harga ini sejalan dengan proyeksi Bank Dunia. Dalam Commodity Markets Outlook edisi April 2023, Bank Dunia memprediksi rata-rata harga minyak sawit sepanjang 2023 akan mencapai USD 980 per ton, jauh lebih rendah dibanding 2022 yang rata-ratanya USD 1.276 per ton.
Namun, Bank Dunia meramalkan harga minyak sawit akan cenderung naik lagi tahun depan, sehingga rata-ratanya menjadi USD 1.020 per ton pada 2024.
Bank Dunia menyatakan ada sejumlah faktor yang bisa mempengaruhi harga minyak sawit di masa mendatang, seperti fenomena cuaca El Nino dan kebijakan Uni Eropa.
"Pada April 2023, ada 62% peluang El Nino akan terjadi pada Mei-Juli, dan lebih dari 80% peluang El Nino akan terjadi pada September-November. Hal ini meningkatkan potensi perubahan suhu dan curah hujan yang dapat mempengaruhi hasil panen di seluruh dunia," kata Bank Dunia.
"Komoditas yang peka terhadap efek El Nino antara lain kopi, beras, minyak sawit, dan karet alam. Risiko jangka panjang akan terus mempengaruhi produksi dan harga komoditas pangan," lanjutnya.
Bank Dunia juga menyebut, kebijakan anti-deforestasi baru dari Uni Eropa menjadi faktor risiko jangka panjang bagi industri pertanian dan perkebunan, termasuk minyak sawit.
Pasalnya, kebijakan tersebut melarang negara-negara Uni Eropa untuk mengimpor komoditas hasil pertanian dan perkebunan yang tidak memenuhi standar keberlanjutan.
"Hukum baru (Uni Eropa) menimbulkan ketidakpastian untuk banyak komoditas pangan, seperti kakao, kopi, kelapa sawit, dan kedelai," kata Bank Dunia.
(Baca: Pemerintah Indonesia Janji Kurangi Deforestasi 56% sampai 2030)