Seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang bisa menangkap dan menahan panas matahari di atmosfer, serta berperan dalam mendorong pemanasan global.
"Metana bertanggung jawab atas sekitar 30% kenaikan suhu global sejak Revolusi Industri," kata International Energy Agency (IEA) dalam laporan Global Methane Tracker 2023.
"Meski metana memiliki umur di atmosfer yang lebih pendek dibanding karbon dioksida, metana menyerap lebih banyak energi panas," lanjutnya.
IEA memperkirakan emisi metana global pada 2022 mencapai 580 juta ton. Sekitar 40% merupakan emisi metana alami dari gambut atau lahan basah (wetland), sedangkan 60% merupakan emisi metana antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia.
Jika dirinci lagi, emisi metana antropogenik paling banyak berasal dari sektor pertanian dan energi. Ada pula emisi dari penimbunan sampah dan pembakaran biomassa, seperti terlihat pada grafik.
(Baca: Suhu Permukaan Bumi Naik 0,89 Derajat Celcius pada 2022)
Dari berbagai sumber emisi tersebut, IEA menilai pengurangan emisi metana seharusnya bisa dilakukan dengan mudah pada sektor energi.
"Emisi metana dari minyak dan gas bumi bisa dikurangi sampai 75% dengan teknologi yang ada sekarang," kata IEA.
Kendati demikian, teknologi pengurangan emisi metana itu tampaknya belum banyak dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan terkait.
"Beberapa kemajuan sudah dan sedang dibuat, tapi emisi masih sangat tinggi dan tidak turun cukup cepat," kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol dalam siaran persnya, Selasa (21/2/2023).
"Ledakan pipa gas Nord Stream tahun lalu melepaskan metana dalam jumlah besar ke atmosfer. Tapi, operasi perusahaan minyak dan gas di seluruh dunia juga melepaskan metana yang jumlahnya sama dengan ledakan Nord Stream setiap hari," lanjut Birol.
(Baca: Emisi Gas Metana dari Sektor Energi Meningkat pada 2022)