Selain sanksi pidana penjara, pelaku korupsi di Indonesia bisa dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014, besaran uang pengganti sama dengan nilai kerugian negara dan harta benda yang diperoleh pelaku dari hasil korupsi.
(Baca: Mayoritas Pelaku Korupsi RI Divonis Hukuman Ringan)
Aturan itu juga menyatakan, jika terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk melunasi kewajibannya.
Namun, dalam praktiknya pembayaran uang pengganti ini hanya sedikit, jauh di bawah nilai kerugian negara.
Menurut pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), seluruh tindak pidana korupsi yang diadili pada 2022 menimbulkan kerugian negara Rp48,8 triliun.
Namun, uang pengganti yang dibayarkan terpidana hanya Rp3,8 triliun, setara 7,8% dari total kerugian.
Tren serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, dengan rincian seperti terlihat pada grafik.
"Ada kesenjangan yang lebar antara besaran kerugian keuangan negara akibat korupsi, dengan besaran pidana tambahan uang pengganti dan denda sebagai instrumen penghukuman dengan pendekatan perampasan aset," kata ICW dalam Laporan Hasil Pemantauan Tren Vonis Kasus Korupsi 2022.
(Baca: Indeks Anti-Korupsi Turun, Korupsi Makin Dianggap Wajar)