Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengambil kebijakan yang tidak populer dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Alasannya karena bbm bersubsidi salah sasaran dan dinikmati oleh warga yang dianggap mampu serta membebani anggaran negara. Penghematan dari pemangkasan subsidi BBM dialihkan ke sektor yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, serta kesehatan.
Kebijakan tersebut ternyata mampu menurunkan konsumsi BBM bersubsidi. Dalam RAPBN 2018 menunjukkan bahwa konsumsi BBM bersubsidi pada 2013 mencapai 46,3 juta kilo liter (kl) yang terdiri atas bbm jenis premium sebanyak 29,3 juta kl, solar 15,9 kl, dan minyak tanah 1,1 juta kl. Namun pada 2016 menyusut lebih dari 61 persen menjadi hanya 18 juta kl. Penurunan ini dampak dari dicabutnya subsidi BBM jenis premium. Kemudian konsumsi BBM subsidi kembali turun menjadi 16,2 juta kl pada 2016. Pada 2017, konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan akan mencapai 16,7 juta kl.
Turunnya konsumsi BBM bersubsidi membuat realisasi subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg mengalami penurunan rata-rata 40,7 persen per tahun menjadi Rp 43,7 triliun pada 2016 dari Rp 210 triliun pada 2013. Namun, pada 2017, anggaran subsidi BBM dan LPG akan mengalami peningkatan menjadi Rp 44,5 triliun akibat perubahan parameter dan asumsi ekonomi makro serta tertundanya subsidi LPG secara tertutup.