Banyak negara sudah berkomitmen mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Transisi energi ini diharapkan bisa menurunkan tingkat emisi karbon dan membantu mitigasi perubahan iklim.
Tapi, tak hanya berdampak bagi lingkungan, proses transisi energi juga dapat mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan global.
"Transisi energi akan menciptakan 14 juta lapangan kerja baru di bidang energi terbarukan pada 2030, dan mendorong 5 juta pekerja untuk bergeser dari sektor energi fosil," kata International Energy Agency (IEA) dalam laporan World Energy Employment edisi September 2022.
(Baca: Risiko Transisi Energi, Pekerja Sektor Energi Fosil Bisa Tersingkir)
Menurut laporan IEA, pada 2019 ada 18,2 juta orang yang bekerja di bidang pasokan energi fosil secara global. Rinciannya terdiri dari 11,9 juta pekerja pasokan minyak dan gas bumi (migas), serta 6,3 juta pekerja pasokan batu bara.
Pekerja pasokan batu bara paling banyak berada di Tiongkok, sedangkan pekerja pasokan migas mayoritasnya berada di wilayah Amerika Utara.
Kemudian jika digabungkan, tenaga kerja pemasok energi fosil terbanyak berada di Tiongkok dengan rincian seperti terlihat pada grafik.
IEA menilai pekerja ahli di sektor pasokan migas memiliki keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk transisi energi.
"Pekerja ahli teknik perminyakan sangat dibutuhkan untuk pengembangan energi panas bumi. Pekerja ahli teknik kimia di pengolahan migas juga bisa menggunakan kemampuannya untuk produksi bahan bakar hijau dan energi hidrogen," kata IEA.
Namun, pekerja di sektor pasokan batu bara dinilai bakal sulit masuk ke lapangan energi terbarukan.
"Mayoritas pekerja sektor batu bara adalah penambang, hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap transisi energi," kata IEA.
Merespons hal ini, IEA merekomendasikan pemerintah dan perusahaan agar membuat program pelatihan keterampilan baru (reskilling) untuk pekerja sektor energi.
"Program reskilling merupakan kunci alternatif untuk pekerja berpengalaman di sektor energi yang mempertimbangkan berpindah karir," kata IEA.
"Lembaga publik, sektor swasta, dan akademisi perlu berkoordinasi lebih erat untuk merancang pelatihan dan kurikulum baru. Ini membutuhkan pemahaman terkait keterampilan yang dibutuhkan pekerja energi untuk mengembangkan energi terbarukan," lanjutnya.
(Baca: Tiongkok Punya Lapangan Kerja Energi Terbarukan Paling Besar Sedunia)