Pemerintah Indonesia berencana menerapkan kebijakan E10, yakni pencampuran bensin dengan 10% etanol, dalam beberapa tahun ke depan.
"E10 sekarang belum, masih di dalam pembahasan dan masih di dalam kita menguji coba dulu. Sudah dinyatakan clear, sudah bagus, baru kita jalankan," kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, diberitakan Kompas.com (7/10/2025).
"Ya, [implementasi E10] 2-3 tahun tahun terhitung sekarang. Jadi, kita harus hitung baik-baik dulu," kata Bahlil.
(Baca: Daftar Negara yang Pakai BBM Campur Etanol, AS Terdepan)
Praktik pencampuran bensin dengan etanol ini sudah dilakukan berbagai negara lain sejak bertahun-tahun lalu, dengan tujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperbaiki kualitas udara.
Pasalnya, berbagai studi menyatakan etanol lebih ramah lingkungan ketimbang bensin. Salah satunya terlihat dari laporan Renewable Fuels Association (RFA).
Menurut data RFA, siklus hidup atau gabungan proses produksi, distribusi, dan konsumsi bensin menghasilkan emisi 98,5 gram ekuivalen karbon dioksida per 1 megajoule energi (gCO2e/MJ).
Di sisi lain, siklus hidup etanol hanya menghasilkan emisi 53,3 gCO2e/MJ.
"Intensitas emisi karbon dari siklus hidup etanol saat ini sekitar 46 persen lebih rendah dibanding bensin," kata RFA dalam laporannya.
RFA memperoleh angka-angka tersebut dari perhitungan emisi produksi, distribusi, dan konsumsi etanol berbasis tanaman jagung.
RFA juga menilai emisi produksi etanol bisa dikurangi di masa depan dengan menerapkan teknologi pertanian rendah emisi.
"Emisi nol-karbon dalam produksi etanol jagung bukanlah konsep yang muluk-muluk. Para anggota RFA telah berkomitmen untuk mencapai nol-bersih jejak karbon pada 2050 atau lebih cepat, dan telah membuat langkah-langkah untuk memenuhi komitmen tersebut," kata RFA.
(Baca: RI Mau Campur BBM dengan Etanol, tapi Produksi Masih Minim)