Bisnis manufaktur Indonesia lesu pada Mei 2025, salah satunya karena permintaan yang masih lemah.
Kondisi ini terlihat dari laporan Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis S&P Global Market Intelligence.
(Baca: Bisnis Manufaktur RI Lesu April 2025, Permintaan Turun hingga Picu PHK)
S&P Global Market Intelligence menyusun indeks PMI dari hasil survei terhadap kalangan manajer dari ratusan sampel perusahaan.
Indikator surveinya meliputi pertumbuhan volume produksi, pesanan ekspor dan domestik, jumlah tenaga kerja, jangka waktu pengiriman pasokan, serta stok bahan yang dibeli setiap perusahaan.
Hasilnya kemudian diolah menjadi skor berskala 0-100. Skor PMI di bawah 50 mencerminkan adanya pelemahan atau kontraksi; skor 50 artinya stabil atau tak ada perubahan; dan skor di atas 50 menunjukkan penguatan atau ekspansi dibanding bulan sebelumnya.
Pada Mei 2025 Indonesia memiliki skor PMI manufaktur 47,4. Meski sedikit naik dibanding April 2025, skor tersebut mencerminkan industri manufaktur Indonesia secara umum masih berada di zona kontraksi.
"Ekonomi sektor manufaktur Indonesia turun dalam tingkat sedang pada bulan Mei, penurunan permintaan baru menyebabkan penurunan volume produksi," kata S&P Global dalam siaran pers, Senin (2/6/2025).
"Ekspor juga terus menurun, sementara perusahaan berupaya menyesuaikan inventaris dan tingkat pembelian untuk menanggapi kondisi permintaan yang lemah," lanjutnya.
Namun, S&P Global menilai perusahaan manufaktur Indonesia secara umum memiliki kepercayaan diri cukup kuat, salah satunya terlihat dari perekrutan tenaga kerja yang mulai meningkat.
"Perusahaan yakin bahwa masa sulit saat ini akan berlalu dan akan kembali bertumbuh, karena kepercayaan diri terkait perkiraan output 12 bulan mendatang menguat dibandingkan bulan April," kata S&P Global.
"Terlebih lagi, perusahaan menaikkan ketenagakerjaan untuk kelima kalinya dalam enam bulan terakhir, untuk menyiapkan pemulihan permintaan," lanjutnya.
(Baca: 10 Sektor Usaha Penopang Utama Ekonomi RI Kuartal I 2025)