Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun anggaran 2022 pemerintah Indonesia mengucurkan sekitar Rp100,4 triliun untuk subsidi LPG.
Realisasi belanja subsidi LPG itu meningkat sekitar 48% dibanding tahun anggaran 2021 (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam sedekade terakhir.
BPK menyebut lonjakan ini dipengaruhi sejumlah faktor, yakni:
- Pembayaran kekurangan subsidi LPG tabung 3 kilogram (kg) dari tahun sebelumnya;
- Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat;
- Kenaikan harga produk LPG (Contract Price Aramco) yang berdampak pada peningkatan subsidi LPG Tabung 3 Kg; dan
- Kenaikan volume penyaluran LPG tabung 3 kg.
Berdasarkan catatan BPK, sepanjang 2022 pemerintah menyalurkan LPG tabung 3 kg dengan berat total 7.799 juta kg.
Volume ini bertambah sekitar 4,5% dibanding volume penyaluran tahun 2021 yang besarnya 7.462 juta kg.
"Penyaluran LPG tabung bersubsidi penting bagi masyarakat miskin, mengingat LPG menjadi sumber energi utama untuk memasak di rumah tangga maupun pedagang kecil," kata BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2022.
(Baca: Konsumsi LPG Naik Lagi pada 2022, Capai Rekor Tertinggi Sedekade)
Adapun menurut Bank Dunia, Indonesia masuk dalam jajaran negara pemberi subsidi LPG terbesar global.
Bank Dunia mengkritisi negara-negara yang menggelontorkan banyak uang untuk subsidi energi fosil, karena bisa memunculkan dampak buruk bagi lingkungan.
"Pemerintah di berbagai negara membelanjakan uang triliunan untuk subsidi yang tidak efisien, yang memperburuk perubahan iklim," kata Bank Dunia dalam laporan Detox Development, Repurposing Environmentally Harmful Subsidies (Juni 2023).
Merespons hal ini, Bank Dunia merekomendasikan agar negara-negara mengalihkan dana subsidi energi fosil ke program-program yang mendukung mitigasi perubahan iklim dan transisi energi yang berkeadilan.
"Di tengah anggaran yang terbatas, peningkatan utang, ketidaksetaraan yang melebar, dan degradasi lingkungan yang memburuk, pemerintah harus memprioritaskan reformasi subsidi yang komprehensif," kata Bank Dunia.
"Keyakinan bahwa reformasi subsidi akan mempengaruhi masyarakat miskin, tidak selalu didukung data. Dalam beberapa kasus, seperti dalam subsidi energi, kelompok orang kaya lebih diuntungkan karena konsumsi mereka yang tinggi," lanjutnya.
"Untuk melindungi kelompok rentan selama reformasi subsidi, kami merekomendasikan pemberian kompensasi kepada kelompok yang paling miskin lewat transfer tunai atau bantuan langsung," kata Bank Dunia.
(Baca: Impor LPG Kian Meningkat, Tembus Rekor Baru pada 2022)