Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam beberapa tahun terakhir terjadi kenaikan tren konflik agraria di sektor pertambangan Indonesia.
Pada 2020, ada 12 kejadian konflik agraria sektor pertambangan yang tercatat. Kemudian jumlahnya naik menjadi 30 kejadian (2021), 21 kejadian (2022), 32 kejadian (2023), dan 41 kejadian (2024).
Secara kumulatif, selama periode 2020-2024, KPA mencatat ada 136 kejadian konflik agraria sektor pertambangan, dengan total luas lahan konflik 579,63 ribu hektare (ha).
Luas konflik agraria sektor pertambangan pada tahun 2024 saja mencapai 71,1 ribu ha, dengan korban terdampak sebanyak 11.153 kepala keluarga.
"Konflik agraria di sektor ini sebagian besar disebabkan operasi industri perusahaan nikel dan batu bara. Tercatat, industri batu bara menyebabkan 14 letusan (kejadian) dan industri nikel sebanyak 11 kasus," kata KPA dalam Catatan Akhir Tahun 2024.
Kemudian ada 8 kasus terkait pertambangan emas, tambang pasir 4 kasus, serta tambang laterit, seng, tembaga, dan timah masing-masing 1 kasus.
Peristiwa konflik yang dicatat KPA ini mengacu pada kejadian penggusuran, perampasan tanah, tindak kekerasan, hingga kriminalisasi yang memicu konflik dan aksi protes masyarakat korban yang berujung pada bentrokan fisik.
Informasi dan data yang dikumpulkan KPA berasal dari 6 sumber, antara lain:
- Pengaduan langsung masyarakat korban konflik agraria;
- Hasil investigasi dan kajian lapangan pada kasus-kasus spesifik yang membutuhkan pendalaman dan penggalian data lebih lanjut;
- Hasil pemantauan konflik agraria di berbagai wilayah sepanjang periode laporan;
- Hasil pemantauan pemberitaan konflik agraria di media massa;
- Hasil investigasi lapangan dan kajian yang dilakukan KPA; dan
- Hasil penanganan dan respons darurat konflik agraria di Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA).
(Baca: Kasus Konflik Agraria Meningkat pada 2024)