Santer diberitakan soal pemuda yang melakukan keonaran di tempat-tempat umum, mulai pusat perbelanjaan, kafe, hingga stasiun. Keonaran itu berlangsung di sejumlah daerah, dari Bontang, Kalimantan Timur; Surabaya, Jawa Timur; sampai DKI Jakarta.
Pemuda tersebut mengaku punya masalah gangguan kejiwaan (orang dengan gangguan kejiwaan/ODGJ). Meski sering ditangkap pihak keamanan, pemuda ini tetap dibebaskan lantaran membawa "kartu" gangguan kejiwaan.
Belakangan aksinya telah membuat resah masyarakat. Pemuda ini bahkan menjadi topik perbincangan di media sosial. Beberapa orang mempertanyakan upaya keluarga yang bersangkutan atau pemerintah untuk menangani pemuda tersebut, tak jarang yang menyarankan untuk dipasung.
Pemasungan untuk ODGJ sebenarnya bukanlah penanganan yang tepat. Pemasungan—terlebih tidak mendapatkan penanganan medis—hanya akan memperparah kondisi ODGJ tersebut, bahkan mempertebal stigma dan dikucilkan masyarakat.
Sayangnya, hingga 2022 lalu praktik pemasungan terhadap ODGJ masih dilakukan masyarakat Indonesia. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, sebanyak 4.304 ODGJ di Indonesia diduga dipasung hingga triwulan II 2022.
"Untuk pasung, angkanya cukup tinggi. Pada 2021 cukup turun rendah, karena fokus, kan, Covid-19, mungkin pendataan surveilans di puskesmas beralih ke Covid-19," kata Vensya Sitohang, Direktur Kesehatan Hiwa (Keswa) Kemenkes dalam konferensi pers Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2022 di Jakarta, Rabu (5/10/2022), dilansir dari Antara.
(Baca juga: Biaya Jadi Pertimbangan Utama Masyarakat Pilih Layanan Kesehatan Mental)
Sementara pada 2021, angkanya mencapai 2.332 orang. Lain hal pada 2020 yang mencapai 6.452 orang. Angka tersebut tertinggi selama empat tahun terakhir.
Sedangkan pada 2019 angka pemasungan terhadap ODGJ mencapai 4.989 orang.
Secara umum, jumlah ODGJ di Indonesia terhitung mencapai 500 ribu orang. Tertinggi berada di Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Vensya berujar, pihaknya berupaya untuk membebaskan ODGJ yang dipasung dengan melibatkan organisasi profesi yang relevan dan melalui pendekatan edukasi kepada keluarga ataupun masyarakat sekitar.
Parahnya, ODGJ yang dilepas dari pemasungan dan menjalani perawatan medis serta terapi, justru dipasung ulang setelah menjalani perawatan. Padahal, pengobatan dan terapi ini harus dijalani berkelanjutan oleh ODGJ bersangkutan.
Vensya menegaskan, pemasungan ulang akan membuat pasien kembali mengalami depresi.
"Edukasi yang kami sampaikan bahwa ODGJ harus disembuhkan dan dibawa ke fasilitas kesehatan. Memikirkan masalah pasung itu sebenarnya masalah sosial sehingga harus diajari oleh petugas puskesmas, RT/RW harus paham agar ODGJ dibawa ke rumah sakit," Vensya menjelaskan.
(Baca juga: Masalah Keuangan hingga Tekanan dari Pasangan Jadi Pemicu Kesehatan Mental di Indonesia)