Populasi miskin ekstrem di skala global diprediksi bertambah dalam beberapa bulan terakhir. Faktor pendorong utamanya adalah gelombang inflasi yang terjadi di banyak negara sejak Maret 2022, setelah Rusia menginvasi Ukraina.
Hal ini tercatat dalam laporan Adressing the Cost-of-Living Crisis in Developing Countries yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP) pada Kamis (7/7/2022).
Sampai Oktober 2021 populasi miskin ekstrem global diperkirakan masih berjumlah sekitar 623,8 juta orang.
Namun, setelah meletusnya perang Rusia-Ukraina yang diikuti kenaikan harga pangan dan energi, kini jumlah populasi miskin ekstrem diprediksi bertambah menjadi 675,4 juta orang.
"Kami memproyeksikan krisis biaya hidup saat ini sudah mendorong lebih dari 51 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem," tulis UNDP dalam laporannya.
Menurut Bank Dunia, kemiskinan ekstrem adalah kondisi di mana seseorang memiliki pendapatan kurang dari US$1,90/hari.
Batas atas kemiskinan ekstrem tersebut setara dengan Rp28,4 ribu/hari atau Rp854 ribu/bulan (asumsi kurs Rp14.984 per US$).
(Baca Juga: JCER: Indonesia Hadapi Risiko Inflasi Tinggi Setahun ke Depan)
UNDP menilai Indonesia termasuk sebagai negara yang sangat terdampak gelombang inflasi, sehingga kemiskinan ekstremnya diestimasikan sudah mencapai 2,94% dari total populasi nasional.
Merespons masalah ini, UNDP mendorong negara-negara merancang bantuan sosial dengan skema transfer uang yang ditargetkan (targeted cash transfers) untuk kelompok miskin.
UNDP menilai skema tersebut lebih baik ketimbang subsidi menyeluruh (blanket subsidies) yang bisa dinikmati masyarakat dari semua kelompok pendapatan.
"Kami menemukan bahwa transfer tunai yang ditargetkan lebih efektif mengurangi kemiskinan, lebih adil daripada subsidi, dan lebih efektif secara fiskal," tulis UNDP dalam laporannya.
(Baca Juga: Penderita Kurang Gizi Terus Meningkat dalam 5 Tahun Terakhir)