Kereta Cepat Jakarta-Bandung, atau disebut juga Kereta Cepat Whoosh, dibangun oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Kendati begitu, dana pembangunan Whoosh yang berasal dari ekuitas atau modal KCIC hanya 25%, sedangkan 75% sisanya dari utang ke China Development Bank (CDB).
Berdasarkan laporan dari Komisi VI DPR, awalnya biaya pembangunan Kereta Cepat Whoosh dipatok sebesar US$6,07 miliar (sekitar Rp97 triliun, asumsi kurs Rp16.000 per US$).
Biaya pembangunan awalnya ditutup dari pembiayaan ekuitas KCIC US$1,52 miliar dan utang dari CDB US$4,55 miliar. Utang CDB ini memiliki tenor 40 tahun, dengan suku bunga dolar AS 2% per tahun.
Namun, seiring dengan adanya kendala pembebasan lahan dan pandemi Covid-19, biaya pembangunan Whoosh membengkak sekitar US$1,2 miliar dari patokan awal, sehingga totalnya menjadi US$7,28 miliar (sekitar Rp116 triliun, asumsi kurs Rp16.000 per US$).
Pembengkakan biaya itu lantas ditutup melalui penambahan modal KCIC menjadi US$1,82 miliar, serta penambahan utang dari CDB menjadi US$5,45 miliar.
Jika dirinci lagi, modal KCIC dikucurkan oleh dua pihak, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan Beijing Yawan HSR Co.Ltd.
PSBI adalah konsorsium atau himpunan badan usaha milik negara yang tergabung dalam KCIC, yakni PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
Kemudian Beijing Yawan HSR Co.Ltd adalah konsorsium perusahaan perkeretapian China yang ikut patungan membentuk KCIC.
Anggota konsorsium China ini meliputi Sinohydro, China Railway International (CRIC), China Railway Engineering Corporation (CREC), China Railway Rollingstock Corporation (CRRC), dan China Railway Signal and Communication (CRSC).
(Baca: Apa Saja Dampak Positif Kereta Cepat Whoosh Menurut Warga? Berikut Hasil Surveinya)