Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 28,99% responden di daerah tertinggal memiliki pengeluaran kurang dari Rp500 ribu per bulan untuk transaksi online pada 2024.
Lalu 10,37% responden mengeluarkan antara Rp500 ribu sampai Rp1 juta; 3,10% menghabiskan antara Rp1 juta sampai Rp3 juta; dan 1,49% menghabiskan lebih dari Rp3 juta per bulan untuk transaksi online.
Sementara, terdapat 56,05% warga daerah tertinggal di Indonesia yang tidak pernah melakukan transaksi online.
Di kelompok yang tidak pernah bertransaksi online, mayoritas atau 52,6% menyatakan lebih suka belanja langsung. Kemudian 10,08% merasa ongkos kirimnya terlalu mahal; dan 8,19% belum bisa menggunakan aplikasi untuk transaksi online.
Survei ini melibatkan 1.950 responden dari 64 daerah tertinggal yang tersebar di 17 provinsi. Pengambilan data dilakukan pada Juli-September 2024 melalui wawancara tatap muka dan telepon.
Menurut Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendes-PDTT) Nomor 11 Tahun 2020, "daerah tertinggal" adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibanding daerah lain dalam skala nasional.
Sebanyak 59,23% responden merupakan laki-laki dan 40,77% lainnya responden perempuan. Responden didominasi oleh generasi milenial atau usia 28-43 tahun (40,10%), diikuti generasi Z atau usia 12-27 tahun (34,36%), dan generasi X atau usia 44-59 tahun (6,05%).
(Baca: Frekuensi Transaksi Online Warga RI Awal 2024)