PT Timah Tbk (TINS) membukukan laba bersih Rp1,04 triliun pada 2022, turun 20% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Penurunan laba itu seiring dengan berkurangnya produksi bijih timah TINS, dari 24.670 ton Sn pada 2021 menjadi 20.079 ton Sn pada 2022.
Turunnya laba TINS juga turut dipengaruhi harga komoditas yang melemah.
Menurut laporan TINS, pada 2021 rata-rata harga jual logam timah mencapai USD 32.619 per metrik ton. Namun, pada 2022 rata-ratanya turun menjadi USD 31.474 per metrik ton.
Kendati labanya turun, kinerja keuangan TINS pada 2022 masih jauh lebih baik ketimbang 2019-2020, di mana mereka mencatatkan kerugian seperti terlihat pada grafik.
Badan usaha milik negara (BUMN) sektor pertambangan timah ini juga berhasil mengurangi liabilitas atau utang-utangnya.
Pada 2021 TINS memiliki total liabilitas Rp8,4 triliun, kemudian pada 2022 posisi utangnya turun ke Rp6,0 triliun. Sementara, ekuitas TINS meningkat dari Rp6,3 triliun menjadi Rp7,0 triliun.
"Perseroan berhasil membukukan kinerja yang optimal hingga akhir tahun 2022 di tengah fluktuasi harga jual logam timah yang cukup tinggi," kata Fina Eliani, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Timah Tbk, dalam siaran persnya (16/3/2023).
"Ke depannya, perseroan akan terus konsisten menjalankan efisiensi di seluruh rantai bisnis, serta mendorong peningkatan kinerja anak usaha," lanjutnya.
Tahun ini TINS juga masih bertahan di indeks LQ45 periode Februari-Juli 2023.
LQ45 adalah daftar 45 emiten terpilih versi Bursa Efek Indonesia (BEI) yang performanya dinilai baik berdasarkan kriteria tertentu, seperti memiliki kapitalisasi pasar besar dan likuiditas tinggi.
(Baca: Stok Tembaga RI Hanya Cukup untuk Produksi 33 Tahun)