Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tercatat sebesar Rp16.368 pada Rabu (19/6/2024).
Nilai itu menguat tipis 0,03% dari acuan sebelumnya, Jumat (14/6/2024) sebesar Rp16.374 per dolar AS.
Secara histroris, posisi rupiah di level 16.000 memang sudah terjadi sejak April 2024, seperti terlihat pada grafik. Pelemahan ini diprediksi berlanjut sebab adanya sentimen suku bunga Bank Sentral AS dan kondisi geopolitik global.
(Baca juga: Rupiah 16.251 per Dolar AS pada 31 Mei 2024, Pelemahan Diprediksi Melanjut)
Melansir Katadata, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, pelemahan rupiah akan berdampak terhadap peningkatan belanja negara seperti pembayaran bunga utang, subsidi, dan kompensasi energi, serta dana bagi hasil (DBH) migas akibat perubahan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas.
"Namun demikian, deviasi indikator asumsi nilai tukar rupiah juga akan mempengaruhi sisi pendapatan sehingga dampak neto terhadap APBN cenderung minim," kata Josua kepada Katadata, Rabu (19/6/2024).
Hal ini berdasarkan asumsi indikator makroekonomi pada APBN 2024. Dia memberi contoh, pelemahan rupiah Rp100 per dolar AS dapat mendorong peningkatan belanja negara sebesar Rp10,2 triliun, termasuk untuk tambahan pembayaran bunga utang dan subsidi.
Di saat yang bersamaan, kondisi ini juga mendorong peningkatan penerimaan negara sebesar Rp4 triliun sehingga dampak terhadap tambahan defisit APBN mencapai Rp6,2 triliun. Dengan rata-rata nilai tukar rupiah dari awal tahun hingga 14 Juni 2024 berkisar pada posisi Rp15.859 per dolar AS, maka terdapat kenaikan belanja negara sebesar Rp53,3 triliun.
"Selain itu, terdapat kenaikan pendapatan negara sebesar Rp 34,4 triliun, yang artinya defisit APBN 2024 berpotensi melebar sekitar Rp18,9 triliun," kata Josua.
(Baca juga: Beda Nilai Defisit Anggaran Era SBY dan Jokowi, Siapa Terbesar?)
Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana juga melihat risiko pelebaran defisit karena biaya pembayaran utang dan biaya subsidi energi naik.
Dengan pelemahan rupiah ini, biaya impor energi seperti migas akan meningkat. Kemungkinan, pemerintah akan menaikkan harga BBM subsidi, LPG, dan listrik sehingga bisa memicu inflasi serta penurunan daya beli masyarakat.
"Kekhawatiran inflasi tertinggi mungkin akan berasal dari kenaikan belanja subsidi energi. Terlebih, jika harga minyak dunia mengalami peningkatan," kata Fikri.
(Baca Katadata: Pelemahan Rupiah Berpotensi Memperlebar Defisit APBN 2024)