Penikmat musik kini semakin jarang meminati rilisan fisik seperti CD, vinyl, atau kaset. Penyebabnya semakin banyak khalayak lebih menikmati layanan streaming musik.
Hal ini senada dengan laporan International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) yang menunjukkan, pendapatan industri musik fisik semakin tergerus dan tergantikan dengan layanan streaming.
Tercatat, pendapatan industri musik fisik dalam lebih dari dua dekade terakhir mencapai puncak tertinggi pada 1999, yaitu mencapai US$22,3 miliar. Namun, nilainya cenderung terus menurun hingga 2022 seperti terlihat pada grafik.
Berbeda halnya dengan industri streaming musik, yang pendapatannya cenderung terus bertumbuh sejak 2005 hingga 2022. Peningkatan pendapatan segmen ini secara pesat khususnya terjadi semenjak 2020 alias pandemi Covid-19.
Adapun pendapatan industri musik global tercatat mencapai US$26,2 miliar pada 2022 atau Rp397,27 triliun (kurs Rp15.163/US$). Capaian ini tumbuh 9% dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Segmen streaming musik menyumbang US$17,5 miliar atau sekitar 67% terhadap total pendapatan industri musik global sepanjang tahun lalu.
“Streaming keseluruhan (termasuk berlangganan dan didukung iklan), menyumbang proporsi pasar tertinggi, meningkat menjadi 67% terhadap pangsa pasar keseluruhan pada 2022 naik dari pangsa tahun tahun sebelumnya yang sebesar 65,5%,” demikian dikutip dari laporan.
Sementara, pendapatan musik pada segmen lainnya tak begitu tinggi. Seperti pada segmen unduhan dan digital lainnya cenderung fluktuatif selama lebih dari dua dekade terakhir. Pendapatan segmen ini tercatat meningkat pada 2003 hingga 2012, namun menurun pada 2013 hingga 2022.
Berbeda dengan segmen royalti musik dan lisensi sinkronisasi, pendapatannya justru cenderung meningkat sepanjang 1999 hingga 2022. Hal ini terlihat pada grafik di atas.
(Baca: Pendapatan Industri Musik Global Didominasi Streaming Berlangganan pada 2022)