Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), terdapat 157 kasus mogok kerja di Indonesia selama periode Januari-Juli 2024.
Semua kasus itu melibatkan setidaknya 17.683 pekerja, serta mengakibatkan kehilangan jam kerja selama 141.464 jam.
Pada Januari-Juli 2024 DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kasus mogok kerja terbanyak, yakni 36 kasus. Pekerja yang terlibat mencapai 850 orang dan jam kerja yang hilang mencapai 6.800 jam.
Berikutnya ada Kalimantan Timur dengan 31 kasus serupa, disusul Jawa Barat 29 kasus, dan Sulawesi Selatan 11 kasus. Sisanya, terlampir pada grafik.
Sementara sampai Juli 2024 Kemnaker tidak mencatat adanya kasus mogok kerja di Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Keputusan itu menyatakan, mogok kerja merupakan hak dasar pekerja dan/atau serikat pekerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Adapun pada Agustus 2024 lebih dari 2 ribu pengemudi ojek online (ojol) berhenti beroperasi sementara pada Kamis (29/8/2024).
Aksi mogok tersebut merupakan bagian dari demonstrasi ojol yang digelar di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta.
"Kami atas nama driver ojek online se-Jabodetabek dan se-Indonesia tidak akan menerima atau mengambil orderan dalam bentuk apapun (food, ride, dan paket) pada tanggal 29 Agustus 2024 sampai jam yang belum bisa ditentukan," kata Presidium Koalisi Ojol Nasional (KON) Andi Gustianto dalam keterangannya, dilansir dari Kontan, Kamis (29/8/2024).
Dalam aksi ini mereka mendesak pemerintah untuk merevisi Perkemenkominfo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Layanan Pos Komersil untuk Mitra Ojek Online dan Kurir Online di Indonesia.
Mereka meminta pemerintah mengevaluasi kerja sama dengan aplikator yang dianggap mengandung unsur ketidakadilan, menghapus program layanan tarif hemat yang dinilai tidak manusiawi, dan menyeragamkan tarif layanan barang dan makanan di semua aplikator.
"Kami meminta kepada pemerintah untuk melegalkan ojek online agar mendapat perlindungan dari pemerintah bahkan dari negara sekalipun," kata Andi.
(Baca: Ojol Berhak Dapat THR, Berapa Banyak Mitra Pengemudi Gojek?)