Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi pertambangan pasir Indonesia menyusut dalam sedekade terakhir.
Pada 2022 volume produksinya hanya sekitar 63 juta meter kubik (m³), rekor terendah sejak 2012.
Jika dibandingkan dengan produksi tahun 2012 yang mencapai 309 juta m³, produksi pasir pada 2022 anjlok sekitar 79%.
Penurunan produksi pasir secara signifikan juga sudah terlihat sejak tahun 2015, dan makin jatuh lagi sejak pandemi Covid-19 tahun 2020 seperti tergambar pada grafik.
Pemerintah Buka Ekspor Pasir Laut
Di tengah turunnya produksi pertambangan pasir nasional, pada Agustus 2024 pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut, setelah lebih dari 20 tahun ditutup.
Ketentuannya tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah Permendag Nomor 23 Tahun 2023.
Permendag baru itu menyatakan, "Bahwa untuk melaksanakan kebijakan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk ekspor dan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor kratom Indonesia, serta memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi eksportir, perlu mengubah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023."
Namun, Presiden Jokowi mengatakan yang boleh diekspor adalah "sedimen" atau material yang mengganggu jalur kapal, bukan "pasir laut". Ia mengklaim pengerukan sedimen laut bertujuan untuk mengatasi masalah pelayaran.
"Sekali lagi, bukan pasir laut. Kalau diterjemahkan sebagai pasir itu beda. Sedimen itu berbeda, meskipun wujudnya juga pasir. Tapi ini sedimen," kata Jokowi, diwartakan Katadata, Selasa (17/9/2024).
(Baca: Ini Komoditas Ekspor Pertambangan RI pada Semester I 2024)