Menurut laporan survei TIFA Foundation, 56% dari total responden jurnalis di Indonesia pernah melakukan penyensoran mandiri (self-censorship) terhadap produk jurnalistiknya.
"Penyensoran mandiri ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti karena khawatir ada ancaman hukum, tekanan politik, atau risiko terhadap keselamatan pribadi," tulis TIFA Foundation dalam laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024: Ancaman dan Risiko Keselamatan Jurnalis pada Masa Transisi.
>
Sebanyak 45% mengaku setidaknya pernah satu kali melakukan penyensoran mandiri sepanjang 2024.
Lalu 28% melakukan hal serupa sekitar 2-5 kali, 6% antara 6-10 kali, dan 3% lebih dari 10 kali sepanjang tahun lalu.
Ada pula 18% yang selalu atau hampir selalu melakukan penyensoran mandiri setiap kali menghadapi berita sensitif.
Survei ini juga mengungkap, mayoritas atau 57% responden melakukan penyensoran mandiri karena ingin menghindari konflik atau kontravensi yang berlebihan.
Alasan berikutnya terkait perlindungan terhadap sumber atau informasi rahasia (48%), khawatir dengan keselamatan pribadi (37%), dan pernah mendapat tekanan dari pihak tertentu (17%).
TIFA Foundation menggelar survei ini melalui kerja sama dengan Populix, dengan melibatkan 760 responden jurnalis aktif.
Mayoritas responden merupakan jurnalis lapangan (68%), diikuti editor/redaktur (17%), pemimpin redaksi (10%), dan redaktur pelaksana (6%).
Responden tersebar di Pulau Jawa (48%), Sumatera (19%), Kalimantan (9%), Bali-Nusa Tenggara (6%), Papua (5%), dan Maluku-Maluku Utara (5%).
Pengambilan data dilakukan pada 30 Oktober-6 Desember 2024 menggunakan dua metode, yakni kuantitatif dan kualitatif.
Selain survei, mereka juga mengambil data sekunder berupa data kekerasan terhadap jurnalis yang dihimpun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam lima tahun terakhir, serta wawancara mendalam dengan sejumlah stakeholder di bidang media.
(Baca: Kerja Jurnalis Tinggi Risiko, Sudahkah Mendapat Asuransi?)