Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 ada 17,17% masyarakat Indonesia yang pernah mengeluarkan uang/barang melebihi ketentuan saat mengakses layanan publik, yang mengindikasikan adanya praktik korupsi berupa suap, pungutan liar, atau maladministrasi.
"Hal ini menunjukkan bahwa masih ada masyarakat yang belum memiliki kesadaran terkait tindakan korupsi yang dilakukan," tulis BPS dalam laporan Indeks Perilaku Anti Korupsi 2024.
Dari kelompok yang membayar uang lebih tersebut, sebanyak 43,07% melakukannya untuk mempercepat proses pengurusan layanan.
Lalu 42,32% sebagai tanda terima kasih karena telah diberikan pelayanan, 6,15% agar dapat pelayanan yang lebih baik, dan 2,01% untuk menjaga hubungan baik.
Kemudian 0,61% melakukan hal serupa karena ada dokumen persyaratan yang kurang, dan 5,84% punya alasan lainnya.
BPS juga menemukan, mayoritas atau 43,94% warga yang membayar lebih saat mengakses layanan publik melakukannya atas inisiatif sendiri.
"Kondisi ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk berperilaku antikorupsi masih belum terinternalisasi di dalam diri sebagian besar masyarakat yang mengakses layanan publik," tulis BPS.
Ada pula 22,97% yang membayar lebih karena diminta petugas, 31,37% merasa hal tersebut lumrah, dan 1,72% karena diminta oleh pihak ketiga.
Sebagai catatan, survei ini dilakukan terhadap sampel 11 ribu rumah tangga yang tersebar di 186 kabupaten/kota.
(Baca: Indeks Anti-Korupsi Turun, Korupsi Makin Dianggap Wajar)