Bank idealnya mampu memainkan peran kunci dalam mitigasi perubahan iklim, seperti lewat pembiayaan transisi energi, investasi di sektor rendah karbon, serta dukungan finansial untuk berbagai proyek ramah lingkungan.
Tapi, bank yang sudah menjalankan peran tersebut tampaknya masih langka. Hal ini terlihat dari penilaian lembaga riset Prakarsa, yang tertuang dalam Laporan Pemeringkatan Bank 2022: Mengukur Kemajuan Kebijakan Keuangan Berkelanjutan Perbankan di Indonesia.
Prakarsa menilai komitmen mitigasi perubahan iklim 11 bank yang beroperasi di Indonesia. Bank-bank ini dipilih sebagai representasi dari kelompok bank umum terbesar nasional, bank asing, dan bank pembangunan daerah.
Penilaian dilakukan berdasarkan analisis laporan tahunan, laporan keberlanjutan, informasi di situs web perusahaan, dokumen kebijakan, serta informasi relevan lain yang diungkapkan bank kepada publik.
Analisisnya kemudian difokuskan pada kredit korporasi, pembiayaan proyek, aset yang dimiliki, serta aset klien yang dikelola masing-masing bank.
Prakarsa merumuskan hasil analisis mereka ke dalam skor rentang 0 sampai 10, dengan kategorisasi sebagai berikut:
- Skor 0 sampai 1,9: Komitmen sangat kurang
- Skor 2 sampai 3,9: Komitmen kurang
- Skor 4 sampai 5,9: Komitmen cukup
- Skor 6 sampai 7,9: Komitmen baik
- Skor 8 sampai 10: Komitmen sangat baik
Dengan metode tersebut, pada 2022 HSBC memperoleh skor 4 dalam komitmen mitigasi perubahan iklim, paling tinggi di antara seluruh bank yang dianalisis.
Menurut Prakarsa, skor HSBC itu masuk kategori "cukup" karena mereka sudah mengadopsi standar internasional pembiayaan proyek terkait perubahan iklim, seperti International Finance Corporation (IFC) Performance Standards dan Equator Principles.
"Di sektor-sektor penting, seperti minyak, gas, dan batu bara termal, HSBC mendorong perusahaan/klien untuk memiliki rencana transisi/dekarbonisasi dan penghentian secara bertahap," kata tim Prakarsa dalam laporannya.
"HSBC telah memiliki target untuk meningkatkan listrik terbarukan untuk operasi hingga 100% pada tahun 2030, dan menyelaraskan emisi yang dibiayai dengan tujuan Perjanjian Paris pada tahun 2050," lanjutnya.
(Baca: Pembiayaan Bank untuk Energi Terbarukan di Indonesia Masih Minim)
Prakarsa juga menemukan, pada 2022 hanya ada sedikit bank yang memiliki kebijakan terkait pengungkapan emisi gas rumah kaca dari proyek yang dibiayainya.
Bank yang membatasi pembiayaan untuk sektor pembangkit listrik/pertambangan batu bara termal juga baru sebagian kecil, yakni HSBC, DBS Indonesia, dan Maybank.
"HSBC, DBS, dan Maybank mengumumkan bahwa mereka tidak akan memberikan dukungan pembiayaan untuk batu bara baru, dan menghentikan secara bertahap pinjaman dalam proyek tersebut untuk mencapai NZE (net zero emission) pada tahun 2050," kata tim Prakarsa.
Bertolak dari temuan ini, Prakarsa mendorong lembaga perbankan dan pemerintah untuk memperkuat kebijakan pembiayaan terkait tema tersebut.
"Dalam pembuatan kebijakan, bank dapat mengacu pada kriteria keberlanjutan yang dikembangkan oleh FFGI (Fair Finance Guide International) dan berbagai standar internasional yang sudah ada," kata mereka.
"OJK dapat mengakselerasi implementasi keuangan berkelanjutan dan pembiayaan hijau dengan menerapkan taksonomi hijau secara mandatory. OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan," lanjutnya.
(Baca: Investasi di Sektor Energi Terbarukan Masih Minim sampai 2022)