Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga acuan mineral, salah satunya nikel. Pada Juli 2023 lalu harga nikel mencapai US$21.376,75 per dry metric tonne (dmt), atau senilai Rp325,39 juta per dmt (asumsi kurs Rp15.222 per US$).
Angka itu sebenarnya menurun dari harga acuan Juni 2023 yang mencapai US$23.317 atau Rp354,93 juta per dmt. Bahkan, acuan Juli 2023 menjadi yang terendah sejak September 2022 lalu.
Sepanjang September 2022-Juli 2023, harga acuan nikel memang sempat meroket pada Februari 2023 lalu yang menyentuh US$28.444,50 atau Rp432,98 juta per dmt.
Setelahnya, justru mengalami penurunan signifikan. Dari US$27.860 (Rp424,08 juta) per dmt pada Maret 2023, menjadi US$24.227 (Rp368,78 juta) per dmt pada April 2023.
Harga acuan terakhir ditetapkan dalam Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 183.K/MB.01/MEM.B/2023 tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batu Bara Acuan untuk Bulan Juli Tahun 2023.
Melansir Katadata, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan pentingnya pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar dalam negeri.
Arifin menilai, indeks tersebut akan menjadi acuan harga penjualan nikel domestik yang didominasi oleh nikel kelas dua, seperti nickel pig iron (NPI), feronikel, hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel.
Fungsi indeks harga nikel Indonesia akan mirip dengan skema harga batu bara acuan yang mengatur besaran kewajiban tarif royalti pelaku usaha batu bara di dalam negeri.
"Supaya ada standar, samalah seperti batu bara," kata Arifin di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Rabu (24/5/2023) lalu.
Arifin meyakini, indeks harga nikel Indonesia mampu memberikan kepastian ihwal harga nikel nasional karena mengacu pada perhitungan domestik.
"Kalau tidak ada indeks itu, kan ada yang menekan. Biasanya pembeli adalah raja, jangan sampai ada raja-rajaan," kata Arifin.
(Baca juga: Nikel: Hilirisasi, Potensi, dan Kemiskinan Daerah Tambang yang Meningkat 2023)