Pemerintah Indonesia sudah membuat skenario energi dengan emisi karbon rendah (low carbon) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Skenario itu menargetkan pengurangan porsi energi fosil, serta penambahan porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
Berdasarkan skenario tersebut, porsi batu bara dalam bauran energi nasional diproyeksikan turun dari 66,98% (2021) menjadi 59,37% (2030).
Kemudian porsi gas bumi turun dari 16,58% (2021) menjadi 15,44% (2030), dan porsi bahan bakar minyak berkurang dari 3,52% (2021) menjadi 0,40% (2030).
Di sisi lain, porsi energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan terus naik dari 12,6% (2021) menjadi 24,8% (2030).
(Baca: Bauran Energi Indonesia Masih Didominasi Batu Bara pada 2030)
Kendati ada penurunan persentase, batu bara tetap menjadi sumber energi utama Indonesia dalam sedekade ke depan.
Adapun jika dilihat secara volume, dalam skenario low carbon ini kebutuhan batu bara nasional diproyeksikan tetap bertambah, dari 111 juta ton (2021) menjadi 153 juta ton (2030).
Skenario ini juga memprediksi emisi gas rumah kaca Indonesia dari sektor energi akan tetap meningkat, dari 259,1 juta ton CO2 (2021) menjadi 334,6 juta ton CO2 (2030).
(Baca: Meski Ada Skenario Low Carbon, Emisi CO2 Indonesia Terus Bertambah)
Meski tren emisinya tetap naik, skenario low carbon memiliki emisi lebih rendah dibanding "skenario optimal" dan "skenario business as usual" (BAU) yang disusun pemerintah.
Dalam skenario optimal, bauran EBT ditambah menjadi 23% pada 2025, namun penggunaan batu bara masih tinggi dengan porsi sekitar 64%. Skenario ini diproyeksikan menghasilkan emisi GRK sebanyak 363 juta ton CO2 pada 2030.
Sedangkan dalam skenario business as usual (BAU), sama sekali tidak ada penambahan EBT ataupun teknologi emisi karbon rendah. Skenario ini diproyeksikan menghasilkan emisi GRK 433 juta ton CO2 pada 2030.
(Baca: Indonesia Mau Tambah Pembangkit Listrik, Mayoritas PLTU)