Presiden Prabowo Subianto telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada 15 September 2025.
PP KEN terbaru ini ditetapkan sebagai pedoman dalam penyusunan rencana pengelolaan energi nasional sampai tahun 2060.
PP ini juga menjadi acuan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), serta penyusunan rencana strategis kementerian/lembaga yang terkait pengelolaan energi.
(Baca: Sektor Energi Sumbang 55% Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia pada 2023)
Dalam PP KEN 2025, pemerintah menargetkan bauran energi primer Indonesia pada 2030 masih didominasi energi fosil, khususnya batu bara.
Setelah itu porsi batu bara dalam bauran energi primer ditargetkan berkurang, digantikan dengan naiknya porsi energi baru dan terbarukan (EBT) sampai 2060.
Adapun energi primer ini adalah energi yang bersumber dari alam dan belum mengalami proses konversi atau transformasi.
Berikut rincian target minimal bauran energi primer Indonesia periode 2030-2060, berdasarkan PP KEN 2025:
Tahun 2030
- Batu bara: 40,7%
- Minyak bumi: 22,4%
- Gas bumi: 12,9%
- EBT: 19,61%
Tahun 2040
- Batu bara: 28,9%
- Minyak bumi: 14,3%
- Gas bumi: 16,7%
- EBT: 35,42%
Tahun 2050
- Batu bara: 19,1%
- Minyak bumi: 8,7%
- Gas bumi: 17,1%
- EBT: 52,23%
Tahun 2060
- Batu bara: 7,8%
- Minyak bumi: 3,9%
- Gas bumi: 14,4%
- EBT: 68,34%
(Baca: Potensi Energi Terbarukan RI Besar, Baru Dimanfaatkan 0,3%)
Kendati ada pergeseran dari dominasi batu bara ke EBT, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai targetnya belum ideal.
Menurut ICEL, target porsi EBT dalam PP KEN 2025 sangat rendah dibanding potensi EBT Indonesia yang melimpah.
ICEL juga menilai target porsi batu bara dan gas bumi sampai 2060 masih cukup besar, hingga mengancam pencapaian target net-zero emission.
"Kebijakan ini memperlihatkan kontradiksi besar, karena di satu sisi Indonesia menyatakan komitmen menuju dekarbonisasi dan target net-zero, tetapi di sisi lain tetap menormalisasi penggunaan batu bara hingga puluhan tahun ke depan," kata Syaharani, Kepala Divisi Keadilan Iklim dan Dekarbonisasi ICEL, dalam siaran pers (25/9/2025).
"Langkah ini bukan hanya melemahkan kredibilitas komitmen iklim Indonesia, tetapi juga mengunci kita dalam ketergantungan pada energi kotor yang akan menyulitkan transisi menuju energi bersih," lanjutnya.
(Baca: Investasi Migas dan Minerba RI Naik pada 2024, EBT Masih Minim)