Negara-negara di Asia Tenggara ramai membicarakan isu keberlanjutan lingkungan dalam beberapa tahun terakhir.
Meski demikian, hal itu tak selaras dengan temuan riset Bain and Company, Temasek, GenZero, bersama Amazon Web Services melalui laporan bertajuk Southeast Asia’s Green Economy 2023 Report. Laporan itu menemukan bahwa nilai investasi yang diterima untuk mendukung ekonomi hijau (green economy) di kawasan Asia Tenggara justru menurun dalam dua tahun terakhir.
Tercatat, nilai investasi hijau Asia Tenggara pada 2022 hanya mencapai US$5,2 miliar atau setara Rp77,45 triliun (kurs Rp14.895/US$). Angka tersebut turun 7% dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Pada 2021, nilai investasi hijau negara-negara di kawasan ini mencapai US$5,6 miliar atau setara Rp83,41 triliun. Nilai itu juga menurun jika dibandingkan pada 2020, yang nilainya sempat mencapai di angka US$6,6 miliar atau Rp98,3 triliun.
Menurut Bain and Company, penurunan investasi asing menjadi salah satu alasan merosotnya penerimaan sektor ini pada 2022. Tercatat, investasi dari luar Asia Tenggara mengalami penurunan hingga 50% (yoy), meskipun investasi antarnegara di kawasan justru mengalami peningkatan 2 kali lipat.
Bain and Company mengatakan, komitmen investasi hijau di kawasan Asia Tenggara pada 2022 meningkat, namun belum terealisasikan ke dalam bentuk belanja modal.
“Komitmen modal baru dari pemerintah dan korporasi meningkat, tetapi belum diwujudkan ke dalam lebih banyak transaksi dan pengeluaran dalam skala besar,” kata Bain and Company.
Salah satunya, kerja sama antara pemerintah dengan Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan mitra internasional lainnya selama 3–5 tahun ke depan untuk membantu Indonesia dan Vietnam menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Bain and Company mencatat, nilai investasi ini mencapai lebih dari US$35 miliar.
Tak hanya itu, riset itu juga mengatakan bahwa ketidakpastian regulasi dan perizinan yang lambat menjadi faktor penghambat investasi hijau di kawasan Asia Tenggara. Padahal untuk mendukung upaya ekonomi berkelanjutan perlu ada kebijakan tegas di baliknya.
“Kesenjangan dalam regulasi, penegakan, dan pasar solusi berbasis alam yang baru ini memperlambat kemajuan (investasi hijau),” ujar Bain and Company.
Adapun Bain and Company mengatakan, Singapura merupakan investor paling aktif di kawasan ini, di mana negara tersebut terlibat dalam 30% dari total transaksi dalam 3 tahun terakhir.
Di samping itu, riset itu menyebut bahwa lebih dari 50% dari investasi hijau di Asia Tenggara pada 2022 masuk ke Singapura dan Indonesia. “Indonesia dan Singapura terus tumbuh dalam investasi, sedangkan negara lainnya mengalami fluktuasi yang didorong oleh kesepakatan sangat besar di Filipina dan Thailand,” ujar Bain and Company.
(Baca: Investasi di Sektor Energi Terbarukan Masih Minim sampai 2022)