Laos, Singapura, dan Vietnam adalah negara anggota ASEAN yang paling menjamin kesetaraan gender dalam hukum perkawinan. Hal ini terlihat dari laporan Women, Business, and the Law 2023 yang dirilis Bank Dunia, Kamis (2/3/2023).
Menurut Bank Dunia, negara perlu menjamin kesetaraan relasi suami-istri melalui aturan hukum yang memenuhi kriteria berikut:
- Meniadakan hukum yang mewajibkan istri tunduk pada suami
- Memiliki hukum spesifik tentang kekerasan dalam rumah tangga
- Membolehkan istri menjadi kepala rumah tangga
- Menyetarakan prosedur perceraian bagi laki-laki dan perempuan
- Menyetarakan hak kawin lagi bagi laki-laki dan perempuan yang sudah bercerai
Bank Dunia kemudian memberi skor 0-100 untuk tiap negara. Skor "0" diartikan sebagai tidak adanya kesetaraan gender sama sekali dalam hukum perkawinan, sedangkan skor "100" berarti negara telah menjamin penuh kesetaraan berdasarkan kriteria di atas.
Pada 2023 Laos, Singapura, dan Vietnam mendapat skor 100. Sementara negara-negara ASEAN lain skornya lebih rendah, mengindikasikan ada kriteria kesetaraan yang belum dipenuhi.
Adapun Indonesia hanya mendapat skor 40 dan berada di jajaran terbawah ASEAN, selevel dengan Malaysia dan Brunei Darussalam.
Indonesia mendapat skor rendah karena belum punya hukum yang membolehkan perempuan menjadi kepala rumah tangga.
Hukum terkait yang berlaku sekarang adalah Pasal 31 Ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: "Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga."
Indonesia juga mendapat skor rendah karena hukumnya belum menyetarakan prosedur perceraian, serta belum menyetarakan hak kawin lagi bagi perempuan dan laki laki yang sudah bercerai.
Perbedaan prosedur cerai laki-laki dan perempuan dijelaskan oleh Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A, Drs. H. Asmu’i, dalam artikel Perceraian: Antara Asa dan Realita yang dilansir situs resmi Badan Peradilan Agama Mahakamah Agung (26/8/2022).
"Berlakunya putusan perceraian pada cerai talak (diajukan suami) ialah sejak suami mengikrarkan talak di depan sidang Pengadilan Agama. Sedangkan pada cerai gugat (diajukan istri), berlakunya putusan perceraian setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap," kata Drs. H. Asmu’i.
Kemudian menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975, jika seorang janda hendak kawin lagi, maka ia harus menunggu setidaknya 90 hari sejak putusan cerai dari pengadilan. Sedangkan bagi duda tidak ada aturan semacam itu.
(Baca: Ini Progres Hukum Kesetaraan Gender Indonesia menurut Bank Dunia)