Permintaan di sektor pengolahan atau manufaktur Indonesia melemah sepanjang kuartal II 2024.
Hal ini terlihat dari laporan Purchasing Manager's Index (PMI) yang dirilis perusahaan intelijen keuangan S&P Global.
Setiap bulan S&P Global menyurvei manajer dari ratusan sampel perusahaan manufaktur di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Variabel yang disurvei meliputi pertumbuhan volume produksi, pesanan ekspor dan domestik, jumlah tenaga kerja, jangka waktu pengiriman pasokan, serta stok bahan yang dibeli setiap perusahaan.
Hasil surveinya diolah menjadi skor berskala 0-100. Skor di bawah 50 mencerminkan adanya penurunan; skor 50 artinya stabil atau tidak ada perubahan; dan skor di atas 50 menunjukkan penguatan atau ekspansi dibanding bulan sebelumnya.
Pada April 2024 skor PMI manufaktur Indonesia berada di level 52,9, turun dibanding bulan sebelumnya.
Kemudian penurunan skor terus berlanjut hingga menjadi 50,7 pada Juni 2024.
Meski indeksnya masih berada di zona ekpansif, hal ini mengindikasikan kondisi permintaan yang makin melemah.
"Manufaktur Indonesia kehilangan momentum besar pada bulan Juni, dengan pertumbuhan permintaan baru yang hampir berhenti karena ekspor turun selama empat bulan berturut-turut," kata Trevor Balchin, Economics Director S&P Global Market Intelligence, dalam siaran pers (1/7/2024).
Menurut S&P Global, perusahaan manufaktur Indonesia yang disurvei umumnya masih optimistis akan adanya proyek baru, pelanggan baru, kenaikan daya beli klien, penurunan inflasi dan kebijakan pemerintah yang mendukung dalam setahun ke depan.
Namun, tingkat optimismenya pada Juni 2024 merupakan yang paling lemah sepanjang sejarah survei.
(Baca: Ekspor RI Turun Semester I 2024, Impor Naik Tipis)