Menurut data yang dihimpun Tanahkita.id, selama periode 1988-Juli 2023 ada 562 kasus konflik lahan yang tercatat di Indonesia.
Konflik yang terjadi selama periode tersebut melibatkan lahan sengketa dengan luas total sekitar 5,16 juta hektare, dan tercatat sudah memakan korban jiwa sekitar 868,5 ribu orang.
Selama periode 1988-Juli 2023 konflik lahan paling banyak terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah, yakni 126 kasus.
Ada cukup banyak pula kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Riau, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat seperti terlihat pada grafik.
Tanahkita.id juga mencatat, dalam periode 1988-Juli 2023 konflik lahan di dalam negeri paling banyak terkait dengan sektor perkebunan, yakni 286 kasus.
Marak juga konflik lahan berupa sengketa di area hutan produksi (84 kasus), pertambangan (62 kasus), hutan konservasi (37 kasus), hutan lindung (33 kasus), proyek infrastruktur (14 kasus), dan wilayah transmigrasi (11 kasus).
Kasus Rempang Menambah Daftar Konflik Lahan Indonesia
Adapun daftar kasus konflik lahan di Indonesia kini sudah bertambah lagi, meski belum tercatat di basis data Tanahkita.id.
Baru-baru ini konflik terjadi di Pulau Rempang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pada awal September 2023.
Pada Kamis (7/9/2023) warga Rempang bentrok dengan aparat gabungan TNI, Polri, Satpol PP dan Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Bentrokan itu terjadi karena sejumlah warga menolak pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Rempang Eco-City yang dikelola pemerintah melalui BP Batam.
Menurut keterangan dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Batam (Kominfo Batam), proyek Rempang Eco-City itu akan merelokasi sekitar 2.700 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 16 kampung di Rempang secara bertahap.
Supaya mau direlokasi, pemerintah menawari warga kampung Rempang kompensasi berupa satu unit rumah tipe 45 meter dengan luas tanah 500 meter persegi untuk setiap KK.
"Pemerintah juga akan membangun fasilitas umum (di wilayah relokasi) seperti rumah ibadah, sekolah, lapangan sepak bola, pelabuhan, pasar, puskesmas dan lainnya," kata Wali Kota Batam Muhammad Rudi dalam siaran pers di situs Dinas Kominfo Batam, Selasa (12/9/2023).
"Pelabuhan kita bangun (di wilayah relokasi) supaya masyarakat bisa tetap melaut, jadi nanti lengkap semua akan kita bangun, termasuk Polsek, Kantor Lurah juga akan dibangun,” katanya lagi.
Menurut Wali Kota Batam, saat ini sudah ada sebagian warga Rempang yang menerima tawaran relokasi tersebut.
Namun, ada juga yang menolak. Salah satunya Ridwan, warga Rempang berusia 60 tahun yang ikut bentrok dengan aparat.
"Saya hanya ingin membela kampung agar tidak digusur, maka saya ikut (bentrok dengan aparat)," kata Ridwan dalam wawancara dengan Mongabay, Jumat (8/9/2023).
Adapun Wali Kota Batam Muhammad Rudi masih terus berusaha mendorong warga Rempang supaya mau direlokasi.
"Saat ini kita masih berupaya untuk berdialog dengan masyarakat, mudah-mudahan cepat selesai," kata Rudi, Selasa (12/9/2023).
(Baca: Walhi: 94,8% Lahan Indonesia Dikuasai Korporasi)