Lima anak yang baru lulus kuliah gagal mendapatkan pekerjaan karena tak lolos pengecekan skor kredit. Isu ini ramai diperbincangkan di media sosial sejak pekan lalu.
Isu tersebut diunggah oleh pengguna Twitter bernama @kawtuz. Dalam cuitannya, dia menceritakan bahwa tempat kerjanya tidak menerima lima calon pelamar tersebut lantaran skor kreditnya sudah di ambang maksimal, yakni kol 5.
Perusahaan tersebut bergerak di bidang keuangan dan menjalankan standar untuk pengecekan skor kredit terhadap setiap calon pekerja. Penemuan kol zona merah tersebut pun diklaim sudah diklarifikasikan ke pihak bersangkutan.
"Gilaaa, 5 orang freshgrad daftar di kantor tmptku kerja, kelimanya gak ada yang lolos karena BI Checking Kol 5, uwaww," tulis akun @kawtuz di Twitter pada Senin (21/8/2023).
Kol atau kolektabilitas adalah penilaian skala 1-5 yang digunakan dalam dunia perbankan untuk mengukur kelancaran kredit atau pembayaran utang dari debitur atau peminjam. Melansir laman Kementerian Keuangan, semakin tinggi angka kolnya, semakin tinggi indikasi kredit macetnya.
Sementara BI checking yang dimaksud adalah Sistem Informasi Perkreditan (SIP) oleh Bank Indonesia. Sejak 2018, SIP telah dipindah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan nama Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
Dari laman OJK disebutkan, SLIK dapat dimanfaatkan untuk memperlancar proses penyediaan dana, penerapan manajemen risiko kedit atau pembiayaan, penilaian kualitas debitur, pengelolaan sumber daya manusia pada pelapor SLIK, verifikasi untuk kerja sama pelapor SLIK dengan pihak ketiga, dan meningkatkan disiplin industri keuangan.
Dalam SLIK itu, OJK menampilkan informasi debitur atau ideb. OJK menyebut bahwa debitur dapat meminta ideb atas nama debitur kepada OJK atau kepada pelapor SLIK yang memberikan fasilitas penyediaan dana kepada debitur yang bersangkutan.
Statistik OJK menunjukkan, permintaan ideb untuk pengecekan skor kredit sudah menyentuh 2,7 juta laporan permintaan sejak Januari 2018. Angkanya kian meningkat dari tahun ke tahun.
Permintaan informasi tercatat meroket sejak pandemi Covid-19, tepatnya 2020. Pada Januari 2020, jumlahnya mencapai 7,5 juta laporan. Sementara pada Juli 2020, permintaan informasi sudah tembus 10,1 juta laporan. Setelahnya, permintaan informasi konsisten di atas 10 juta laporan tiap bulannya.
Permintaan informasi dalam SLIK paling tinggi terjadi pada Maret 2023, angkanya tembus 19,1 juta laporan, seperti terlihat pada grafik.
(Baca juga: Kredit Kendaraan Meningkat, Kredit Bermasalahnya Juga Naik)
Antisipasi utang online
Melansir CNBC Indonesia, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi mengatakan kejadian gagalnya 5 fresh graduate mendapatkan kerja dapat menumbuhkan kesadaran anak muda untuk tidak main-main dengan utang online.
Terlebih buy now pay later (BNPL) telah terhubung dengan SLIK. Artinya, setiap ada tunggakan utang, akan memengaruhi rekam jejak orangnya, utamanya riwayat kreditnya.
SLIK juga bakal menunjukkan riwayat kredit debitur. Riwayat ini bisa diakses setiap orang, selama memasukkan NIK KTP debiturnya.
"Jadi, anak-anak muda tuh aware, oh iya jangan main-main utang online 'habis itu aku ganti nomor, udah gak bisa ditagih'. Enggak gitu. Karena kalau sudah pakai KTP semuanya tuh akan masuk di SLIK ya," kata Kiki, sapaannya, dikutip Sabtu (26/8/2023).
Kini OJK juga masih mengembangkan SLIK. Buntut dari viralnya cuitan tersebut, Kiki mengatakan bahwa masyarakat getol mengecek skor kredit mereka di SLIK.
OJK juga tengah membentuk pusat data Fintech Lending (Pusdafil). Dari situ, pengajuan pinjaman online (pinjol) pun akan terintegrasi dengan SLIK OJK. Tunggakan utang online akan lebih mudah diawasi.
"Orang-orang ini kalau tahu data yang masuk SLIK mereka hati-hati [dalam mengajukan pinjaman]. Tapi kalau pinjol mereka tahu enggak masuk data SLIK, [mereka] suka enggak bayar," kata Kiki.
(Baca juga: Tren Kredit Macet Pinjol Meningkat pada Semester I 2023)