Matcha mungkin melekat di ingatan banyak orang sebagai ikon teh hijau yang berasal dari Jepang. Namun nyatanya, menurut laporan Encyclopedia Britannica, matcha justru bermula di China dan baru tiba di Jepang sekitar abad ke-12, setelah diboyong oleh seorang biksu Buddha Zen.
Biksu tersebut lalu memperkenalkan praktik "jalan teh" (the way of tea), bentuk pengabdian spiritual yang dituangkan dalam penyajian teh, sebagai penghormatan terhadap ketekunan dan keindahan.
Dalam penelusuran Britannica, kata "matcha" berasal dari gabungan kata Jepang matsu dan cha. Matsu artinya menggosok, mengoles, atau melukis, dan cha adalah teh.
Matcha ditanam dengan aturan yang sangat ketat. Selain itu, hanya pucuk dan tiga helai daun teratas dari teh muda (Camellia sinensis) yang dipanen. Daun teh kemudian dikukus untuk menghentikan proses oksidasi, lalu dibuang tulangnya dan digiling menggunakan batu.
"Karena proses produksinya yang sangat teliti dan memakan tenaga, matcha menjadi salah satu jenis teh termahal di pasaran," tulis Britannica.
(Baca: Jadi Olahan Makanan Kekinian, Siapa Produsen Pistachio di Dunia?)
Hingga kini Jepang memang diyakini menjadi penghasil matcha terbaik di dunia. Ini berkat tradisi panjang, teknik pengolahan presisi, dan kualitas daun teh yang dijaga sejak berabad-abad.
Laporan Ooika yang bersumber dari Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang menunjukkan, terdapat sejumlah wilayah atau prefektur di Jepang sebagai penghasil daun teh mentah (crude tea) sebagai bahan dasar matcha terbesar di negara tersebut.
Sebagai catatan, olahan teh mentah ini baru melalui tahap pertama. Ini merupakan bahan dasar untuk sencha (teh seduh daun) atau tencha (teh bubuk premium) seperti matcha.
Kagoshima menempati urutan pertama dengan olahan teh mentah tertinggi, yakni 8.440 ton pada Agustus 2025. Olahan teh itu berasal dari 45.200 ton daun segar yang dipetik.
Ooika menyebut, ini kali pertama setelah 1991 produksi Kagoshima melampaui Shizuoka yang kini berada di posisi kedua dengan volume 8.120 ton, turun 19% dari tahun lalu. Sebelumnya, Shizuoka telah memegang posisi puncak selama lebih dari tiga dekade.
Pemerintah Jepang meyakini pergeseran produsen ini karena sejumlah faktor, di antaranya berkurangnya jumlah produsen, menurunnya usia produktif petani, alih komoditas ke tanaman lain, dan kondisi iklim yang kurang menguntungkan.
Selanjutnya, Mie sebesar 1.940 ton, Kyoto sebesar 1.070 ton, dan Saitama 460 ton. Dari ketiga prefektur ini, mayoritas produksinya turun dibandingkan dengan tahun lalu, yakni Mie -8%, Kyoto -19%, namun hanya Saitama naik 2%.
(Baca: Banyak Warga RI yang Ingin Ceremonial Matcha dengan Harga Murah)