Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan minyak mentah Indonesia mencapai US$4,25 miliar pada 2021.
Angka tersebut melonjak 113% atau sekitar 2 kali lipat lebih tinggi dibanding defisit tahun 2020 yang hanya US$1,99 miliar. Defisit ini juga terjadi untuk ke-9 kalinya secara beruntun dalam 9 tahun terakhir.
Melebarnya defisit tersebut dipicu oleh nilai impor minyak mentah yang meningkat 107,78% (year-on-year/yoy) menjadi US$7,05 miliar pada 2021. Sementara ekspor minyak mentah Indonesia naik 100,15% (yoy) menjadi US$2,8 miliar pada periode sama.
Defisit juga dipengaruhi naiknya harga minyak mentah dunia jenis Brent yang mencapai US$79,2 barel pada akhir Desember 2021, melambung 54,2% (yoy) dari posisi akhir Desember 2020.
(Baca: Harga Minyak Melonjak, Impor Migas Indonesia Capai Rp292 Triliun pada Semester I 2022)
Adapun kenaikan harga minyak mentah dunia dipengaruhi banyak faktor, di antaranya karena aktivitas ekonomi global yang meningkat seiring meredanya dampak pandemi Covid-19.
Semakin terbatasnya produksi minyak mentah domestik dari sumur-sumur yang telah berproduksi, serta belum ditemukannya ladang minyak baru, membuat pemerintah harus mengimpor minyak mentah dari luar negeri.
Permintaan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri yang terus meningkat juga membuat pemerintah harus mengimpor minyak mentah dan minyak olahan dalam jumlah besar setiap tahunnya.
(Baca: Neraca Perdagangan Migas Indonesia Selalu Defisit dalam 7 Tahun Terakhir)