Setelah rugi bertahun-tahun, pada 2022 Bukalapak mencetak laba yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk sekitar Rp1,98 triliun.
Angka tersebut tumbuh sekitar 218% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), di mana Bukalapak mengalami rugi Rp1,67 triliun pada 2021.
Kendati demikian, laba emiten berkode BUKA ini ditopang oleh laba investasinya yang sudah dan belum terealisasi di PT Allo Bank Tbk.
"Oleh karena itu, manajemen perseroan tetap menggunakan adjusted EBITDA sebagai indikator kinerja," kata manajemen Bukalapak dalam siaran persnya (28/3/2023).
Adapun pada kuartal akhir 2022 adjusted earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) Bukalapak masih minus Rp235 miliar.
(Baca: Kerugian GoTo Bengkak pada 2022, Lampaui Rugi Grab dan Sea Ltd)
Selain adjusted EBITDA yang minus, beban Bukalapak masih lebih besar ketimbang pendapatan bersihnya.
Pada 2022 pendapatan bersih BUKA mencapai Rp3,26 triliun. Namun beban pokok pendapatannya Rp2,56 triliun, beban penjualan dan pemasaran Rp1,03 triliun, serta beban umum dan administrasi Rp2,54 triliun.
Di sisi lain, liabilitas atau utang jangka pendek Bukalapak turun drastis dari Rp3,01 triliun (2021) menjadi Rp808,9 miliar (2022).
Utang jangka panjangnya juga turun dari Rp112,48 miliar (2021) menjadi Rp99,07 miliar (2022).
Kemudian ekuitas Bukalapak pada 2022 mencapai Rp26,49 triliun, naik dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp23,49 triliun.
Tahun ini Bukalapak masih bertahan di indeks LQ45 untuk periode Februari-Juli 2023. LQ45 adalah indeks berisi 45 emiten yang dipilih Bursa Efek Indonesia (BEI) berdasarkan kriteria tertentu, seperti memiliki kapitalisasi pasar besar serta likuiditas tinggi.
(Baca: Awal 2023, Pengunjung E-Commerce Indonesia Menurun)