Laporan riset TIFA Foundation dan Populix menunjukkan, perusahaan media di Indonesia diyakini memiliki sejumlah mekanisme tertulis dalam memberikan perlindungan bagi jurnalisnya. Ini berdasarkan pengakuan dari para jurnalis yang disurvey.
Mekanisme tertulis yang paling banyak dimiliki oleh media adalah perlindungan hukum, dipilih oleh 87% responden jurnalis. Sebanyak 13% di antaranya mengaku medianya tak memiliki mekanisme perlindungan hukum tertulis.
Kemudian mekanisme tertulis terkait pemisahan berita atau acara komersial dan redaksi yang dipilih 83%. Lalu sebanyak 17% di antaranya menilai perusahaannya tidak menyediakan aturan pemisahan tersebut.
Selanjutnya, perlindungan kekerasan seksual yang dipilih 72% responden. Sebanyak 28% di antaranya mengaku tidak tersedia.
Adapun mekanisme tertulis paling sedikit yang tersedia di perusahaan media, yakni liputan di wilayah berisiko yang dipilih 69% responden. Sisanya sebanyak 31% menilai perusahaannya tidak memiliki aturan tersebut.
"Mayoritas jurnalis menilai bahwa empat mekanisme tertulis ini telah dijalankan cukup efektif di perusahaannya," tulis tim TIFA dan Populix dalam laporan Temuan Kunci Indeks Keselamatan Jurnalis 2023.
Survei ini menyasar 536 responden jurnalis aktif. Dari jumlah responden tersebut, 67% di antaranya laki-laki dan 33% perempuan. Berdasarkan generasi, mayoritas merupakan milenial atau 28-43 tahun (66%); gen X dan boomer atau 44-60 tahun (21%); dan gen Z tau 17-22 tahun (16%).
Berdasarkan tingkat pendidikan, lebih banyak lulusan sarjana S1 (66%); akademi dan setingkatnya (21%); SMA (9%); dan sarjana S2 (4%). Status pekerjaannya lebih banyak jurnalis penuh waktu (45%); jurnalis kontrak (36%); dan kontributor (19%).
Mereka tersebar di Pulau Jawa (44%); Sumatera (19%); Kalimantan (9%); Sulawesi (9%); Maluku-Maluku Utara (8%); Bali-Nusa Tenggara (6%); dan Papua (5%).
Pengumpulan data melalui survei untuk Indeks Keselamatan Jurnalis dilakukan pada 22 Januari-13 Februari 2024 dengan metode self-filling oleh para jurnalis.
Ada dua metode pengumpulan data, yakni kuantitatif dan kualitatif. Pada pengumpulan data kuantitatif, tim riset tidak hanya menyurvei, tetapi juga mengambil data sekunder berupa data kekerasan terhadap jurnalis yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sebelumnya. Sementara data kualitatifnya dengan mengadakan focus group discussion (FGD) dan in-depth interview dengan sejumlah stakeholder di bidang jurnalistik.
(Baca juga: 45% Jurnalis RI Alami Kekerasan pada 2023, Intimidasi hingga Ancaman Pembunuhan)